Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Memahami Deforestasi secara Utuh

Kompas.com - 07/02/2024, 16:28 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SILANG pendapat antara calon wakil presiden Mahfud MD dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya tentang data laju deforestasi 10 tahun terakhir, menarik untuk dibahas agar publik mendapatkan pemahaman utuh terkait deforestasi berikut aspek yang mengikutinya.

Berawal dari pernyataan Mahfud dalam sesi debat cawapres yang diselenggaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 21 Januari 2024 lalu, yang menyebut 10 tahun terakhir laju deforestasi mencapai 12,5 juta hektare (2023-2024), lebih luas dari negara Korea Selatan dan 23 kali Pulau Madura.

Pernyataan bombastis Mahfud tersebut segera direspons Siti Nurbaya selaku menteri yang mempunyai otoritas tentang data deforestasi di Indonesia.

Menteri Siti menyebut data yang dikutip Mahfud salah. Menurut dia, data dari 2013 hingga 2022, laju deforestasi kurang lebih hanya 3,854 juta hektare.

Perinciannya adalah 2013 seluas 730.000 ha, 2015 seluas 1,01 juta ha (terjadi El Nino dan kebakaran hebat), 2016 seluas 630.000 ha, 2017 seluas 480.000 ha, 2018 seluas 440.000 ha, 2019 seluas 460.000 ha (karena El Nino naik lagi) dan 2022 seluas 104.000 ha.

Mahfud merespons kembali dengan menyebut dirinya bukan salah data, hanya perbedaan membaca data antara dirinya dan Menteri Siti.

Mahfud menggunakan data Global Forest Watch, sementara yang disampaikan Menteri LHK adalah deforestasi netto, data yang ada di KLHK dan Badan Pusat Statistik (BPS).

Deforestasi netto adalah deforestasi brutto dikurangi reforestasi. Data yang lengkap tentang deforestasi ada di Andi Widjayanto, mantan Gubernur Lemhanas.

Bagaimana sebenarnya duduk masalahnya untuk memahami laju deforestasi agar tidak menimbulkan mispersepsi di publik?

Sekelas menteri koordinator dan menteri teknis yang membidangi kehutanan saja bisa berbeda dalam membaca dan menyikapi data tentang deforestasi, apalagi masyarakat umum.

Sebagai mantan rimbawan yang menggeluti rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) lebih dari 35 tahun, saya mencoba membuka wacana (diskursus) untuk memahami pengertian deforestasi dengan segala aspeknya secara utuh sebagai berikut:

Pemahaman dasar deforestasi

Deforestasi sudah terjadi sejak sekitar 50 tahun lalu, ketika pemerintah mengizinkan investor asing menanamkan modal melalui UU Penanaman Modal Asing pada 1968. Bentuknya berupa investasi di kawasan hutan dengan pemberian konsesi.

Di Indonesia, wali data luas hutan dan kerusakannya ada di KLHK. Kalau data dan angka tersebut dapat diverifikasi dengan bukti-bukti historis, kronologis, kesatuan pengertian dan seterusnya, kita tak akan berbeda dalam memahaminya.

Silang pendapat soal deforestasi menunjukkan ada masalah dalam obyektivitas data, tujuan pendataan, metodologi, maupun waktu pengambilan data, bahkan verifikasi pengambil data serta penjelasannya.

Penyebab deforestasi, antara lain, pengelolaan hutan secara intensif pada areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), konversi kawasan hutan untuk penggunaan oleh sektor lain, seperti perluasan pertanian, pertambangan, perkebunan dan transmigrasi, pengelolaan hutan yang tidak lestari; pencurian kayu atau penebangan liar; perambahan dan okupasi lahan pada kawasan hutan serta kebakaran hutan.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau