KOMPAS.com - Menurut studi, sekitar 20 persen pemberitaan dari kanal berita online di Indonesia tidak merahasiakan identitas anak.
Identitas anak yang muncul dalam pemberitaan termasuk nama anak yang diduga, disangka, dan didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.
Temuan tersebut mengemuka berdasarkan penelitian yang dipimpin anak terhadap 100 berita yang terpublikasikan di lima media online dengan traffic tertinggi di Indonesia pada 2023.
Baca juga: Terbuka Potensi Sinergi Pengarusutamaan Isu Gender dan Hak Anak
Penelitian tersebut dilakukan oleh Forum Anak Jakarta Timur dan dipublikasikan oleh Wahana Visi Indonesia (WVI) pada Februari 2024.
Itu berarti, ada satu dari lima berita yang diteliti tidak merahasiakan identitas anak.
Selain itu, berdasarkan studi tersebut, sebanyak satu dari tiga berita masih tidak menggunakan kalimat atau narasi atau viual atau audio yang bernuansa positif.
"Berita semestinya menyiratkan empati dan tidak membuat deskripsi atau rekonstruksi persitiwa yang bersifat seksual dan sadistis," tulis riset tersebut.
Baca juga: 1 dari 3 Anak Kurang Zat Besi, Perlu Kerjasama Perbaiki Gizi
Selain itu, sebanyak dua dari lima berita tidak mempertimbangkan kapasitas anak untuk menjawab hal-hal sulit dan serius.
Artinya, masih ada narasumber anak yang diminta memberi tanggapan atas peristiwa kematian, perceraian, perselingkuhan orangta atau keluarga.
Serta, masih ada narasumber anak yang diminta memberi tanggapan terkait kekerasan, kejahatan, konflik, dan berncana yang menimbulkan dampak traumatik.
Salah satu peneliti, Rida (18), berharap, dengan adanya riset tersebut, media massa di Indonesia dapat berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk menguatkan berita yang yang melindungi anak-anak.
Baca juga: Waspadai Paparan Timbel pada Anak, Perlu Pengendalian Kuat
"Saya berharap, melalui hasil riset ini, media massa di Indonesia dapat melakukan kolaborasi dengan organisasi anak-anak, tenaga pendidik, atau psikolog anak, supaya berita-berita yang disebarluaskan lebih melindungi anak-anak," ungkap Rida dikutip dari situs web WVI.
Rida menuturkan, ketika identitas anak tersebar ke khalayak luas melalui pemberitaan media, anak dapat menjadi sasaran kemarahan yang tidak beralasan.
Hal tersebut sangat membahayakan kehidupan anak saat itu dan mereka bakal menanggung stigma buruk di masa mendatang.
Peneliti anak lain yang juga anggota Forum Anak Jakarta Timur Indah menuturkan, setiap media perlu memvalidasi setiap berita yang disebarkan.
Baca juga: Rendahnya Asupan Protein Hewani Sebabkan Anak Stunting
"Media harus punya kepekaan terhadap kebutuhan anak, bagaimana caranya menangani wawancara dengan anak-anak, dan paham bagaimana berita bisa berdampak terhadap anak-anak," tuturnya.
Selain bocornya identitas anak dalam berita, cara berita bertutur yang tidak memberikan nuansa yang positif juga menjadi sorotan.
Angel, anggota tim peneliti mengungkapkan, salah satu media online besar di Indonesia memberitakan informasi yang sensitif dengan kesan negatif.
"Akibatnya, anak yang terkait trauma dan berita itu menggiring perspektif pembaca ke hal yang kesannya jorok, jijik," ucapnya.
Baca juga: Rendahnya Asupan Protein Hewani Sebabkan Anak Stunting
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya