Negara-negara di Asia menyadari betapa bahaya iklim berdampak langsung terhadap kehidupan dan mata pencaharian, dan telah membuat komitmen yang lebih dalam, seperti yang ditunjukkan oleh revisi Kontribusi Nasional yang ditentukan dalam Perjanjian Paris tahun 2015.
Asia dapat membantu perjuangan melawan perubahan iklim dengan menunjukkan cara menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan.
Baca juga: Cak Imin Tuding Pemerintah Belum Serius Tangani Krisis Iklim
Negara-negara emerging market dan negara-negara berkembang di Asia membutuhkan investasi setidaknya 1,1 triliun dollar AS per tahun untuk memenuhi kebutuhan mitigasi dan adaptasi.
Namun negara-negara tersebut hanya memperoleh 333 miliar dollar AS, sebagian besar berasal dari instrumen utang berkelanjutan seperti obligasi ramah lingkungan, dan lebih dari setengahnya berasal dari sumber-sumber publik.
Kekurangan ini menyebabkan negara-negara tersebut mempunyai kesenjangan pendanaan setidaknya sebesar 815 miliar dollar AS.
China memimpin dalam menarik pendanaan iklim, membuat kemajuan besar dalam adopsi energi terbarukan, dan kolaborasinya dengan Uni Eropa telah menghasilkan kerangka kerja penting untuk pendanaan berkelanjutan, seperti Taksonomi Common Ground dan Prinsip Obligasi Hijau Tiongkok yang lebih ketat.
Sementara negara-negara kepulauan Pasifik dan negara-negara kecil lainnya sering mengalami kesulitan mengakses pasar modal internasional atau memperoleh pembiayaan melalui dana iklim global.
Secara khusus, mereka merasa sulit untuk memenuhi persyaratan akreditasi yang ketat untuk dana iklim global karena kapasitas mereka sudah sangat terbatas dan pengelolaan investasi publik sangat menantang.
Baca juga: Krisis Iklim Picu Kepunahan Kera Besar Lebih dari 200.000 Tahun Lalu
Bagi negara-negara besar, obligasi ramah lingkungan (green bond) mungkin sama mahalnya dengan obligasi konvensional karena investor tampaknya kurang percaya terhadap karakteristik ramah lingkungan dalam instrumen utang berkelanjutan di Asia.
Permasalahan ini menggarisbawahi tantangan yang lebih luas terhadap aspirasi pendanaan di kawasan ini.
IMF kemudian menggelar survei terhadap 19 negara di Asia. Hasilnya, terjadi kesenjangan penting dalam data, pengungkapan, dan taksonomi, dan hal ini diperburuk oleh kebijakan iklim nasional yang tidak konsisten yang dapat mendorong subsidi bahan bakar fosil.
Kekurangan ini melemahkan kepercayaan investor terhadap target dan transisi yang berwawasan ke depan.
Greenwashing juga merupakan sebuah risiko, karena hal ini dapat menimbulkan pertanyaan mengenai legitimasi klaim lingkungan hidup yang dibuat oleh penerbit obligasi.
Selain itu, meningkatnya fragmentasi geoekonomi, termasuk saling mendukung dan melemahkan rantai pasokan global, dapat mengancam tindakan kooperatif dan kolektif untuk membendung perubahan iklim.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya