Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Irvan Mahmud Asia
Pengamat dan Penulis

Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Agraria dan Sumber Daya Alam (PPASDA); Wasekjen DPP Pemuda Tani HKTI

Melek Isu "Food Loss" dan "Food Waste"

Kompas.com - 15/02/2024, 16:33 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ISU di sektor pangan, hulu hilir begitu kompleks. Membentang dari pra sampai pascapanen--bahkan sampai di piring konsumen.

Susut pangan terjadi pada tahap produksi, pascapanen/penyimpanan, dan pemrosesan/pengemasan. Limbah pangan terjadi pada tahap distribusi/pemasaran dan sisa konsumsi. Inilah Food Loss dan Food Waste (FLW).

Mengutip Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 2015 yang dimaksud FL merupakan hilangnya pangan antara rantai pasok produsen dan pasar yang terjadi sebagai akibat proses pascapanen sehingga pangan tidak sesuai mutu yang diinginkan pasar akan dibuang.

Sedangkan FW diartikan sebagai pangan layak makan, tetapi terbuang disebapkan kelalaian, mulai dari proses produksi, pengolahan, dan distribusi.

Dalam rentang 19 tahun, 2000 sampai 2019, FLW yang dihasilkan mencapai 23 juta hingga 48 juta ton setara 115 kg sampai 184 kg/kapita/tahun.

Angka ini didapatkan dari Kajian FLW 2021 yang dilakukan Kementerian PPN/Bappenas bersama Low Carbon Development Indonesia, Waste4Change, UKald, dan World Resource Institute.

FLW tidak saja berkontribusi pada kenaikan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang mencapai 1.702,9 MtCO2EK dan inilah yang menjadi dasar isu FLW masuk dalam Sustainable Development Goals (SDGs) 12, yaitu responsible consumption and production.

Namun dari sisi ekonomi nilai kerugiannya begitu fantastis antara Rp 213 triliun (kisaran terendah) sampai Rp 551 triliun per tahun (kisaran tertinggi). Angka ini disebut equivalen dengan 4 persen sampai 5 persen Produk Domestik Bruto (PDB) per tahun Indonesia.

Masih dari laporan tersebut, dari sisi tahap rantai pasok, food waste menjadi penyumbang terbesar dari nilai kehilangan ekonomi.

Sementara nilai kehilangan ekonomi pada tahap pangan yang terbuang pada tahap distribusi/pemasaran dan sisa konsumsi berkisar antara Rp 107 triliun sampai Rp 346 triliun/tahun.

Bappenas juga mengestimasi nilai kehilangan ekonomi pada tahap food loss sekitar Rp 106 triliun sampai Rp 205 triliun/tahun.

Dampak selanjutnya adalah hilangnya gizi atau kandungan energi yang diperkirakan dapat memberi makanan 61-125 juta orang. Angka ini setara dengan 29 persen hingga 47 persen penduduk Indonesia.

Angka ini sebenarnya masih bisa lebih besar, jika Bappenas menghitung semua total komoditas pangan nasional yang jumlahnya mencapai 146 komoditas.

Sebagai informasi, Bappenas memperoleh angka-angka di atas berdasar hasil perkalian antara volume timbulan sampah makanan pada setiap tahap rantai pasok dengan harga komoditas pangan yang terbuang.

Fakta semacam ini sebenarnya sudah jauh-jauh hari diingatkan oleh kampus atau pengamat dan praktisi.

Untuk FL, misalnya, terjadi kerena buruknya sarana dan prasarana terutama tempat penyimpanan, pengemasan dan pengolahan.

Sebagaimana kasus-kasus di negara berkembang seperti kita, kehilangan pangan pada tahap pra-panen lebih banyak terjadi karena sumber masalahnya juga beragam.

Hal yang sama berlaku dalam FW meskipun determinan utama dalam hal ini lebih pada perilaku konsumen seperti mengambil makanan, tetapi tidak dihabiskan, baik di rumah tangga maupun di restoran.

Sisa-sisa (sampah) ini kemudian berakhir di TPA dan membusuk yang kemudian menghasilkan gas metana dalam jumlah besar. Kelebihan metana, termasuk CO2 menyebabkan pemanasan global.

FLW adalah isu global, tidak hanya menguras kas negara—memengaruhi pertumbuhan ekonomi, tetapi terbukti pula merusak lingkungan.

Hal yang membuat Presiden Jokowi meminta jajarannya untuk mewaspadai ancaman FLW. Saat yang sama potensi ancaman krisis pangan hampir melanda semua negara.

Laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) bekerjasama dengan Barilla Center for Food and Nutrition (BCFN) berjudul “Food Sustainability Index 2017” memberikan gambaran persoalan FW di Indonesia sebagai masalah serius.

Indonesia menjadi produsen sampah makanan terbesar kedua di dunia setelah Arab Saudi.

Dalam studi itu disebutkan bahwa setiap orang Indonesia rata-rata membuang makanan sekitar 300 kg/tahun.

Sementara data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2021, di antara semua jenis sampah yang dibuang, sampah sisa makanan menjadi komposisi sampah yang paling banyak, yaitu sebesar 29,1 persen total sampah.

Suatu kondisi yang kontras dengan fakta di mana sekitar 20 juta penduduk Indonesia masih kesulitan mengakses pangan dengan kuantitas dan kualitas yang cukup.

Kesadaran kolektif

FLW bukan lagi isu, ia sudah menjadi masalah serius dan harus menjadi gerakan bersama seluruh elemen bangsa, mulai dari tingkat pemerintah, produsen--supermarket--konsumen.

Sebisa mungkin dari hulu hilir tidak terjadi FLW sebagaimana ungkapan bijak waste not, want not bahwa seseorang sebaiknya tidak membuang apapun karena di masa mendatang diperlukan.

Beberapa strategi kebijakan antara lain:

Pertama, peningkatan inovasi. Perlu pengembangan teknologi pascapanen untuk meningkatkan efisiensi hasil pertanian.

Opsi lain dengan mengembangkan teknologi iradiasi makanan seperti yang dikembangkan BRIN.

Semoga saja dukungan kebijakan pendanaan dari pemerintah terus berlanjut dan pemerintah harus memberi time line yang jelas. Jika ini berjalan, maka akan sangat membantu mencegah pembusukan dan kerusakan serta membebaskan pangan dari patogen.

Para lulusan kampus jurusan teknologi pangan atau teknologi industri pangan bisa
diberdayakan ilmunya. Tantangannya sejauh mana, khususnya pemerintah, mau berinvestasi karena selama ini baru perusahaan swasta besar yang memanfaatkan ilmu ini.

Kedua, gaya hidup pangan berkelanjutan. Makanan bukan hanya dipilih karena menyehatkan, tetapi memikirkan dampak lingkungan.

Artinya pangan bisa dihasilkan terus-menerus terutama seminimal mungkin menghasilkan limbah makanan maupun dari kemasannya.

Selain itu, mengonsumsi pangan sesuai kebutuhan untuk menghindari makanan terbuang sia-sia. Cara lainnya memilih makanan yang alami diikuti variasi, misalnya, sumber karbohidratnya tidak hanya nasi. Kita punya banyak sumber pangan seperti ubi, kentang, dan lain-lain.

Singkatnya, pangan berkelanjutan membentang sejak produksi bersih, penyimpanan, distribusi, pemasaran, pengelolaan terutama limbah menjadi sangat mendesak. Dibutuhkan kebijakan strategis dan tata kelola pangan yang komprehensif.

Ketiga, untuk restoran dan usaha sejenis. Sebagai tahap awal tindakan audit limbah menjadi mendesak karena akan menjadi pintu masuk untuk tahap selanjutnya. Dengan audit, kita akan mengetahui dengan pasti berapa jumlah makanan yang terbuang.

Keempat, level rumah tangga. Bisa dimulai dari hal-hal kecil seperti merencanakan menu dan jumlah makanan selama seminggu, lalu membuat daftar belanja.

Saat waktu makan, setiap anggota keluarga harus menakar betul kebutuhannya, dalam arti mengambil makanan yang bisa dihabiskan. Ini hal sepele, tetapi dampaknya sangat besar untuk mengurangi FW.

Kelima, optimalisasi pendanaan. Dimaksudkan pendanaan bisa tepat guna dalam penyediaan infrastruktur, sarana prasarana, dan pelatihan untuk mendukung efisiensi.

Keenam, penguatan regulasi. Baik di level pusat maupun daerah dan ini mesti terhubung apa yang menjadi tantangan masing-masing wilayah regional. Sembari memperkuat kelembagaannya.

Ketujuh, pengembangan kajian. Data base FLW hulu hilir dan secara rigid harus diketahui dan oleh karenanya kajian mesti terus dikembangan.

Semua strategi di atas hampir sama dengan pedoman yang telah dianjurkan FAO dalam “Reducing the Food Wastage Footprint”.

FAO menggambarkan strategi pengurangan limbah pangan dalam pola piramida terbalik. Urutan prioritas pilihan penanganan limbah pangan adalah reduce (mengurangi limbah), reuse (menggunakan kembali), recycle and recover (daur ulang dan pemulihan) dan pilihan terakhir adalah landfill (masuk tempat pembuangan sampah).

Reduce dipandang sebagai cara terbaik untuk mengurangi limbah sumber daya alam. Reuse bila ada surplus produksi, maka pilihan terbaik adalah menjadikannya tetap berada dalam rantai pangan manusia, bisa dipasarkan atau untuk keperluan sosial.

Recycle and Recover bagaimana memanfaatkan sisa-sisa yang ada dengan cara pengolahan seperti kompos dan pembakaran. Manajemen pembuangan limbah pangan juga sangat penting agar limbah tidak menganggu lingkungan dan air tanah.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com