KOMPAS.com - Peneliti Pusat Riset Masyarakat dan Budaya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Lilis Mulyani, menilai aturan agraria saat ini terkesan tidak sederhana dan semakin ruwet, sehingga ketimpangan penguasaan tanah semakin terlihat jelas.
"Meski dijadikan satu dalam undang-undang, termasuk dalam Undang-undang Cipta Kerja, sebetulnya itu sangat tidak menjawab permasalahan," ujarnya dalam bedah buku studi agraria kritis di Jakarta, dikutip dari Antara, Kamis (22/2/2024).
Ia menjelaskan, pihak yang diuntungkan dengan regulasi itu semakin nampak bila dikaji lebih dalam terkait Undang-Undang Cipta Kerja atau undang-undang lain yang dikeluarkan sekarang.
Lebih lanjut, menurut Lilis, penumpukan penguasaan lahan oleh segelintir orang atau kelompok terlihat semakin nyata.
"Pihak yang mendapatkan akses paling besar tetap korporasi yang dipegang oleh sekelompok kecil orang saja," imbuh Lilis.
Baca juga: Bukan Food Estate, Intensifikasi Lahan Lebih Penting demi Pangan Nasional
Lilis bercerita, pada 2015 lalu, dirinya bersama peneliti lain terlibat di Kantor Staf Presiden untuk menyusun naskah akademis tentang reforma agraria.
Ternyata, kata dia, hasil riset para peneliti diinterpretasikan berbeda oleh para teknokrat dan birokrat pembuat kebijakan, baik legislatif maupun eksekutif.
Lilis menilai ada proses-proses pemilihan yang menyesuaikan kewenangan dan kepentingan mereka.
Saat para peneliti mengkaji reforma agraria yang bertujuan untuk mengurangi ketimpangan penguasaan lahan, pada akhirnya ada kompromi-kompromi yang kemudian masuk dalam pembuatan kebijakan tersebut.
Lebih lanjut, Lilis juga menyampaikan tentang perhutanan sosial untuk mengurangi ketimpangan akses.
"Isu struktural mendasarnya bahwa ketimpangan rakyat masih banyak yang belum memiliki lahan, sementara kelompok lain memiliki lahan yang sangat luas, itu tidak terjawab dengan reforma agraria," tuturnya.
Lilis berpesan kepada para periset atau pengkaji untuk memiliki kacamata kritis, karena menurutnya tidak bisa bicara normatif dan deskriptif untuk memahami akar dari permasalahan agraria di Indonesia.
Berpikir kritis juga akan membuka dan mengantarkan rasa empati pada kelompok yang marjinal.
Saat mereka terjun di masyarakat, mereka bisa melihat apa yang tidak bisa terlihat, utamanya kelompok-kelompok terpinggirkan, kelompok yang tidak memiliki suara bisa terlihat ketika menggunakan kacamata kritis itu.
"Ini bisa memberi dorongan juga untuk melakukan perlawanan kepada ketidakadilan yang terjadi," pungkas Lilis.
Baca juga: Indonesia Punya 20,6 Juta Hektar Lahan Basah, Ini 6 Manfaatnya
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya