TAJUK Rencana Kompas, Senin (19/2/2024), menurunkan tulisan menarik berjudul “Percepat Rehabilitasi Mangrove” yang menyebut rehabilitasi hutan mangrove dinilai lamban.
Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) mencatat ekosistem mangrove seluas 637.000 hektare telah kritis. Sejauh ini, rehabilitasi mangrove jauh di bawah target pemerintah.
Peta Mangrove Nasional tahun 2021 mencatat, total luas hutan mangrove di Indonesia 3,36 juta hektare atau 20 persen lebih dari seluruh ekosistem mangrove di dunia.
Pada 2021, Presiden Joko Widodo menargetkan rehabilitasi mangrove di Indonesia sekitar 600.000 hektare hingga 2024. Namun hingga kini rehabilitasi mangrove baru mencapai 130.000 hektare (Kompas, 17/02/2024).
Padahal, hutan mangrove melindungi garis pantai dari badai dan tsunami melalui rendaman gelombang. Mangrove juga menyerap karbon empat kali lebih banyak dibanding hutan hujan lewat akumulasi biomassa hidup, endapan sampah dan kayu mati.
Hutan mangrove di Indonesia menyipan 3,14 miliar ton karbon dioksida. Keberadaan mangrove juga mendukung mata pencaharian warga.
Sekitar 55 persen dari total biomassa tangkapan ikan di Indonesia terdiri atas spesies yang bergantung pada mangrove.
Sumber ancaman paling serius terhadap habitat mangrove adalah meningkatnya kepadatan populasi manusia dan pembangunan di pesisir.
Pembangunan perkotaan, budidaya perikanan, konversi ke pertanian seperti pertanian padi, dan eksplotasi kayu mangrove yang berlebihan merupakan faktor utama hilangnya mangrove.
Mengingat besarnya manfaat mangrove, menjadi lebih penting lagi untuk mengembalikan kondisi ekosistem mangrove yang telah rusak dan kritis menjadi hutan mangrove seperti semula dengan melakukan rehabilitasi mangrove melalui revegetasi (penanaman kembali) tanaman baru.
Masalahnya, revegetasi mangrove tidak semudah seperti menanam tanaman kehutanan, misal, pinus dan jati yang sistem silvikulturnya telah dikuasai sejak lama.
Pada 14 September 2023, saya diundang sebagai pembahas diskusi terfokus (Focus Group Disscussion/FGD) tentang mangrove oleh Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) di Jakarta.
Saya satu-satunya praktisi/ahli nonperguruan tinggi yang diundang dalam diskusi. Narasumber lainnya dari UGM, Universitas Diponegoro, IPB, ITB, UI.
Terungkap bahwa rehabilitasi mangrove yang dilakukan oleh BRGM sejak 2021 (seiring dengan telah berubahnya nama Badan Restorasi Gambut/BRG menjadi BRGM), banyak kendala atau masalah yang ditemui dalam pelaksanaan rehabilitasi mangrove di tingkat tapak (lapangan).
Masalah yang dihadapi BRGM dalam rehabilitasi mangrove di antaranya:
Pertama, penyediaan anggaran/pendanaan. BRGM punya tanggung jawab memulihkan 600.000 hektare mangrove yang rusak di sembilan provinsi. Pemulihan itu saat ini terkendala pendanaan.
Kebutuhan biaya untuk pemulihan mangrove yang menjadi tugas BRGM sebesar Rp 23 triliun. Biaya yang cukup mahal untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, jika dibandingkan dengan kegiatan rehabilitasi di lahan kering.
Jika mengacu pedoman standar biaya kegiatan di lingkup Kementerian Lingkungan dan Kehutanan tahun 2021, kegiatan pembuatan hutan rakyat hanya Rp 5,7 juta - Rp 7,2 juta per hektare.
Tahun 2022, rehabilitasi mangrove melalui penanaman kembali (revegetasi) ditargetkan mencapai 11.000 hektare.
Menurut Deputi Bidang Perencanaan dan Evaluasi BRGM Satyawan Pudyatmoko (waktu itu), untuk mempercepat rehabilitasi mangrove, aspek pendanaan harus menggunakan banyak skema.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya