Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Transisi Energi Hadapi Tantangan, Pemerintah Dinilai Ragu Tinggalkan Bahan Bakar Fosil

Kompas.com - 01/03/2024, 19:00 WIB
Faqihah Muharroroh Itsnaini,
Danur Lambang Pristiandaru

Tim Redaksi

Sikap pemerintah

Kendati sudah mendesak, FWI menilai Indonesia ragu-ragu untuk mengurangi emisi dari sektor energi dengan meninggalkan energi fosil terutama batu bara.

"Komitmennya dipertanyakan dalam bertransisi energi, dengan berencana merevisi target bauran energi baru terbarukan (EBT)," ujar Anggi.

Target yang seharusnya mencapai 23 persen pada 2025, akan direvisi menjadi 17-19 persen. Perubahan ini tercakup dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN). 

Sementara itu, Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto menggagas salah satu model bisnis yang dipertimbangkan yakni penangkap dan penyimpan karbon atau carbon capture and ctorage (CCS) dan carbon capture, utilization, and storage (CCUS).

Baca juga: Mengejar 100 Persen Energi Terbarukan di Nusa Penida Bali

Model bisnis ini bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari kegiatan produksi migas dengan menangkap karbon dioksida dan menyimpannya di dalam sumur bawah tanah atau memanfaatkannya untuk keperluan lain.

Dengan menerapkan CCS dan CCUS, diharapkan dapat mengurangi dampak lingkungan dari industri migas serta meningkatkan keberlanjutan sektor ini.

Komisi VII DPR RI saat ini juga tengah menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) minyak dan gas (migas) untuk mendukung peningkatan produksi migas dengan memperhatikan aspek keberlanjutan.

Sugeng Suparwoto menjelaskan, Komisi VII terbuka dengan berbagai masukan, terutama soal RUU Energi Baru Energi Terbarukan (EBET) yang kemungkinan besar akan disahkan dalam beberapa kali sidang.

“Kami terbuka dan koalisi ini bisa hearing di gedung DPR RI," ujar tegas Sugeng.

 Baca juga: SMI dan Tony Blair Institute Bentuk Kerangka Kerja Sosio-ekonomi Demi Transisi Energi Berkeadilan

Keraguan dalam komitmen transisi energi

Namun, FWI mempertanyakan arah navigasi transisi energi yang dinahkodai Komisi VII DPR RI karena dinilai belum jelas. Pun terkait masih dimasukkannya bioenergi ke dalam golongan energi terbarukan di dalam draft RUU EBET.

"Ada keraguan bahwa dalam pengambilan keputusan bioenergi sebagai energi terbarukan, DPR selaku pengusul RUU ini sudah cukup informasi atau tidak, seperti dalam mengukur dampak deforestasi yang ditimbulkan," ujar Anggi. 

Bioenergi dari turunan komoditas sawit atau dari biomassa kayu dalam bentuk wood pellet, kata dia, sangat erat kaitannya dengan hutan dan lahan.

"Komodifikasi sumber daya alam oleh konsesi menuntut tingginya permintaan akan lahan, justru akan menjadi driver deforestasi," imbuhnya. 

Baca juga: SMI dan Tony Blair Institute Bentuk Kerangka Kerja Sosio-ekonomi Demi Transisi Energi Berkeadilan

Catatan FWI pada 2023, biomassa kayu yang ditargetkan memenuhi kebutuhan cofiring di 52 PLTU akan dipenuhi melalui pembangunan hutan tanaman energi (HTE). Saat ini, sudah ada 31 konsesi HTE yang sudah merusak hutan Indonesia 55.000 hektare.

Jika kebijakan cofiring dan penggunaan biomassa kayu sebagai strategi bauran energi dan upaya pengurangan emisi dilanjutkan, maka justru diproyeksi ada 4,65 juta hektare hutan alam yang akan terdeforestasi.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau