Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 03/03/2024, 10:24 WIB
Faqihah Muharroroh Itsnaini,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Rachmat Kaimuddin menekankan perlunya insentif pajak untuk kendaraan listrik.

Menurutnya, insentif akan mendorong pertumbuhan industri otomotif dalam negeri, terutama transportasi listrik atau electric vehicle (EV) untuk mewujudkan nol emisi pada 2060 atau lebih cepat. 

Baca juga: Usia Kendaraan Listrik Capai 20 Tahun, Baterai Bisa Didaur Ulang

“Insentif pajak merupakan langkah penting untuk mendorong Indonesia menjadi yang terdepan dalam revolusi kendaraan listrik,” ujar Rachmat dalam acara "Sosialisasi Kebijakan Insentif dalam Rangka Percepatan Investasi KBLBB" di Jakarta, Jumat (1/3/2024). 

Ia menjelaskan, dengan mendorong para produsen mobil EV dunia untuk memproduksi kendaraan listrik, tidak hanya menstimulasi pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.

Namun juga membuka jalan bagi pengembangan ekosistem otomotif yang kuat dan berkelanjutan di Indonesia.

“Tahun ini akan menjadi tahun yang istimewa untuk perkembangan ekosistem EV dalam negeri karena kita akan mendapatkan banyak opsi kendaraan EV yang tentunya akan menjadikan kendaraan EV menjadi jauh lebih terjangkau untuk khalayak luas,” tuturnya.

Insentif kendaraan listrik

Sebagai informasi, pada akhir 2023, Indonesia menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 79 Tahun 2023 yang mengatur pemberian insentif.

Insentif yang diberikan, antara lain insentif keringanan pajak bea masuk, pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), dan pengurangan pajak daerah untuk KBLBB.

Insentif ini berlaku untuk impor mobil dalam keadaan utuh atau completely built up (CBU) dan mobil yang diimpor dalam keadaan terurai lengkap atau completely knocked down (CKD) dengan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) di bawah 40 persen.

Sebagai gambaran, ia memberi ilustrasi, pajak masuk biasanya berbeda-beda namun umumnya dari beberapa negara bisa sampai 50 persen. Kemudian, PPnBM sekitar 15 persen.

"Jadi misalnya ada benda harganya 100, terus ditambah biaya masuk 50 persen menjadi 150, kemudian ditambah lagi PPnBM 15 persen menjadi 172," terangnya.

Lalu, jika ditambah dealer margin, beberapa biaya lain, dan pajak pertambahan nilai (PPN) 11 persen, terbentuklah harga sebuah kendaraan listrik. 

"Yang kami hapuskan dalam program ini, adalah 50 persen pajak bea masuk dan 15 persen PPnBM," terangnya.

Produsen EV dapat menikmati paket insentif impor dan PPnBM tersebut hingga akhir 2025. Selanjutnya, produsen wajib memenuhi ketentuan produksi EV di dalam negeri atau “utang produksi” hingga akhir 2027, sesuai dengan ketentuan TKDN yang berlaku.

“Paket insentif ini hadir sebagai win-win solution bagi Indonesia dan para investor atau produsen EV dunia,” kata Deputi Bidang Pengembangan Iklim Penanaman Modal Kementerian Investasi Iwan Suryana yang turut hadir dalam kegiatan sosialisasi tersebut.

Dengan demikian, kata Iwan, masyarakat Indonesia dapat menikmati lebih banyak opsi EV yang berkualitas dunia dengan harga yang kompetitif.

Di sisi lain, para produsen dapat membangun fasilitas manufaktur di Indonesia sambil menguji coba produk EV mereka dan membangun pangsa pasar EV di Tanah Air.

"Dengan ditanggung oleh pemerintah, secara langsung dapat mengurangi harga," ujar Analis Kebijakan Ahli Madya, PKPN, BKF, Kementerian Keuangan, Rustam Effendi. 

Sehingga, menurutnya, semakin lama semakin banyak pelaku industri EV yang menjual mobil listrik di Indonesia. Dengan demikian, persaingan akan semakin ketat dan harga pun ikut bersaing.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com