Jejaring sosial pada dasarnya adalah kekuatan (Liu et al., 2017). Oleh karena itu, kemandirian desa akan terbantu dan diperkuat oleh jejaring yang dimilikinya.
Pada posisi ini, TNI sejatinya adalah salah satu mata rantai dari jejaring yang terbangun di pedesaan.
Ini menjadi keharusan karena melalui semangat Sishankamrata, TNI juga memandang bahwa masyarakat pedesaan pun adalah jejaring kekuatan yang harus didekati dan dibina hubungannya.
Ketahanan sosial masyarakat pedesaan pasti berhubungan dengan ketahanan bernegara secara keseluruhan.
Oleh sebab itu, menjadi sangat wajar dan sudah seharusnya bila TNI selalu terlibat dalam berbagai aktifitas masyarakat pedesaan.
Bukan ingin mengintervensi tugas dan kewenangan aparat pemerintah setempat, tapi bagian dari memperkuat basis pertahanan. Desa adalah basis dasar Sishankamrata.
Terhadap potensi-potensi yang dimiliki oleh desa, TNI akan menjadi pihak yang melakukan dinamisator sekaligus menerapkan dan memprakikkan berbagai inovasi yang sudah dimiliki.
Fakta itulah yang terjadi di beberapa wilayah, seperti Gelebak Dalam di Sumatera Selatan, kawasan Pantai Selatan Jawa Barat, Pulau Mentawai di Sumatera Barat dan berbagai daerah lainnya.
Ragam inovasi dan teknologi dipraktikkan, seperti mesin penjernih air yang mampu mengolah air laut menjadi air siap minum, mesin pembuat es batu, mesin pengolah garam, dan sebagainya.
Teknologi terapan, yang belum merata dikenal masyarakat, berhasil diintervensi.
Intervensi dan kolaborasi ini tentu saja memiliki perbedaan dengan pendekatan-pendekatan yang diterapkan sektor swasta yang lebih menekankan sisi ekonomi.
Dalam konteks ini sangat diperlukan kehati-hatian dan komitmen yang kuat pada semua level bahwa kolaborasi adalah untuk kemandirian dan kesejahteraan masyarakat desa. Sasaran akhir adalah terwujudnya desa mandiri dan berdaulat.
Semangat berbagi adalah semangat yang dikembangkan, bukan semangat “menguasai”. Sisi ini yang perlu sekali diperhatikan, karena berbagai fakta menunjukkan dominannya semangat “menguasai”, berdampak pada kegagalan dalam membangun kemandirian.
Alih-alih mandiri, yang terjadi justru ketergantungan dan keterasingan, bersisian pula dengan ketidakadilan.
Pemberdayaan dengan menerapkan kolaborasi justru menciptakan dominasi baru, dan membangun bibit-bibit konflik dengan masyarakat setempat.
Konflik desa dengan perusahaan adalah bukti konkret kegagalan dalam memahami esensi berbagi, bukan menguasai.
Apapun itu mewujudkan desa yang mandiri dan berdaulat, tidak bisa berjalan sendiri, harus berkolaborasi, dan TNI sudah membuka ruang-ruang tersebut.
Kehadiran berbagai Komando Kewilayahan kemudian menjadi “tangan-tangan” yang langsung berjabatan dengan masyarakat di tingkat tapak. Tidak untuk melakukan militerisasi, tapi justru kolaborasi untuk memperkuat basis pertahanan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya