KOMPAS.com - Lembaga think tank energi global EMBER Climate menilai emisi gas metana tambang batu bara (coal mine methane) di Indonesia masih kurang mendapatkan perhatian dan tidak dilaporkan dengan tepat.
“Hal ini dikarenakan estimasi resmi bergantung pada metode perhitungan lama dan tidak akurat, menurut laporan terkini dari EMBER Climate,” ujar Analis Senior Iklim dan Energi Indonesia EMBER Climate, Dody Setiawan, dalam pernyataannya, Selasa (12/3/2024).
Berdasarkan data Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), metana merupakan gas rumah kaca (GRK) yang memberikan dampak pemanasan global 30 kali lipat lebih kuat dibandingkan karbon dioksida dalam kurun waktu 100 tahun.
Baca juga: AI Jadi Suntikan Energi bagi Penelitian Medis di Indonesia
Namun, kata dia, Indonesia masih belum merujuk pada data tersebut dan dampak metana masih dianggap kurang substansial.
Seperti disampaikan dalam laporan dua tahunan Indonesia ke Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim (United Nations Framework on Climate Change Conference/UNFCCC).
Emisi gas metana dari tambang batu bara di Indonesia mencapai enam hingga tujuh kali lebih besar dibandingkan estimasi resmi, berdasarkan studi independen yang menggunakan data satelit dan tambang.
“Sedangkan estimasi EMBER Climate menunjukkan bahwa tingkat emisi tersebut bahkan mencapai delapan kali lebih besar,” imbuhnya.
Padahal, Dody menjelaskan, Indonesia sebagai salah satu negara yang menandatangani perjanjian metana global (Global Methane Pledge).
Perbedaan estimasi itu, berisiko mengancam tujuan perjanjian tersebut yakni mengurangi emisi metana global sebanyak 30 persen pada tahun 2030.
“Penggunaan metode estimasi yang lama berisiko menutupi besaran masalah gas metana tambang batu bara yang sebenarnya di Indonesia,” tutur Dody.
Baca juga: Berapa Potensi Green Jobs dari Transisi Energi di Indonesia?
Ia menilai, karena Indonesia sudah berkomitmen untuk turut mengurangi gas metana secara global, kredibilitas Indonesia di kancah internasional akan dipertanyakan.
Oleh karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengakui keberadaan permasalahan ini.
Kemudian, memperbarui metode estimasi gas metana tambang batu bara Indonesia dalam laporan transparansi dua tahunan (BTR) ke UNFCCC mendatang.
“Hal ini akan membantu dalam merumuskan strategi mitigasi emisi metana dengan efektif,” ungkapnya.
Lebih lanjut, laporan EMBER Climate juga menunjukan bahwa estimasi gas metana tambang batu bara terbuka (surface mine) akan meningkat hingga empat kali lipat jika menggunakan faktor emisi yang telah diperbaiki–yakni nilai pengali untuk mengestimasi emisi gas metana per ton produksi batu bara yang lebih akurat sesuai rekomendasi IPCC.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya