TENTU sudah jadi pengetahuan bersama bahwa tidak ada lagi kehidupan manusia saat ini yang tidak terhubung pada akses digital.
Revolusi informasi sejak era 2000-an, telah mengantarkan manusia pada lingkungan serba online dan terkoneksi setiap saat.
Fasilitas smartphone kemudian menjadi wujud konkret bahwa semua telah terfasilitasi. Maka sekarang kita adalah manusia-manusia yang selalu terkoneksi. Masyarakat serba informasi itulah fenomena manusia "zaman now" (Danilyan et al., 2023).
Tak hanya di perkotaan, di wilayah pedesaan juga penetrasi digitalisasi adalah keniscayaan, tak bisa dihindari.
Bertahan dengan konsep dan metode zaman lalu akan menyebabkan masyarakat justru terperangkap dan terjebak pada berbagai belitan dunia digital. Tak bergerak, kita akan dijadikan objek.
Sayangnya untuk kasus Indonesia, di beberapa tempat, pemanfaatan internet cenderung belum maksimal. Berbagai fitur dan kemudahan yang ada, belum dimaksimalkan, alih-alih hanya sebatas media hiburan ataupun sebatas pencarian informasi (Cahyono et al., 2021).
Padahal, Kementerian Kominfo sudah berusaha maksimal agar program internet untuk desa bisa terpenuhi ke semua wilayah.
Untuk itu, memang dibutuhkan berbagai program literasi konkret sekaligus best practice yang bisa memotivasi dan mendorong kecerdasan virtual masyarakat.
Dalam konteks pertahanan bernegara, sejalan dengan mekanisme dalam sishankamrata, kekuatan masyarakat yang tercermin dari kecerdasaannya dalam memanfaatkan peluang digital menjadi salah satu hal penting.
Kenapa demikian, karena asupan informasi dari dunia digital sangat luar biasa, fenomena disruptif information sudah sangat nyata.
Masyarakat yang tidak mampu memanfaatkan peluang digital secara baik akan menjadi manusia lemah yang terbengong-bengong menyaksikan berbagai kemajuan dan akhirnya menjadi sasaran empuk politisasi secara digital.
Ini bukan hal sederhana, tapi sangat serius karena penetrasi digital sudah masuk ke semua lini (APJII, 2023).
Oleh karena itu, memberdayakan masyarakat pedesaan dalam konteks pemanfaatan berbagai kecanggihan era digital adalah keharusan.
Program literasi perlu diperkuat dan dikonkretkan. Hemat saya, kelemahan selama ini, yang kemudian menyebabkan masyarakat Indonesia (khususnya pedesaan dan beberapa sektor masyarakat kecil seperti UMKM) adalah lemahnya literasi konkret.
Literasi yang dilakukan cenderung sebatas himbauan ketimbang langkah nyata untuk menunjukkan sisi masyarakat bisa berkiprah.
Di negara lain, kebijakan tentang memperkuat kiprah desa melalui ranah digital sudah dilakukan. Ini sebagai antisipasi terhadap perkembangan teknologi yang tidak bisa dihindari.
Desa Ponta do Sol di Portugal adalah desa pertama di Eropa yang dicanangkan sebagai desa digital.
Eropa juga kemudian mengembangkan European Start Up Vilage Forum, forum yang menginiasi berbagai desa untuk melakukan pertukaran informasi dan pengetahuan berbasis start up. Hal ini tidak lepas dari adanya visi jangka panjang dari Komisi Eropa untuk memperkuat wilayah pedesaan.
Hal di atas menunjukkan adanya kesadaran dan pengakuan bahwa desa adalah wilayah yang sangat penting, bahkan bisa dikatakan jantungnya negara.
Mendorong agar desa menjadi melek teknologi, memiliki daya saing kuat, mampu mengembangkan potensi baik secara mandiri maupun dengan fasilitasi adalah keharusan. Konteks inilah yang kemudian menjadi perhatian serius di Indonesia.
Selama ini, posisi desa kerap diasumsikan berada di bawah pamor masyarakat perkotaan. Sering diidentikkan bahwa kemajuan, kemodernan, bahkan kepintaran adanya di kota.
Desa justru dianggap udik, terbelakang dan tentu saja dinyatakan tertinggal. Paradigma seperti ini sangat melekat, tidak hanya bagi orang luar, bahkan juga oleh orang desa sendiri.
Konstruksi makna tentang ini sangat kuat di mana sering muncul selorohan dari seseorang yang sudah sukses dengan berkata, “saya ini sebetulnya dulu dari desa”, untuk mengatakan bahwa dulu ia udik dan kolot, tapi sekarang sudah berhasil.
Gagasan tentang desa digital bukan barang baru di Indonesia. Beberapa pihak sudah pernah melakukan itu dengan berbagai inovasinya, semua bisa dilacak melalui jejak digital di internet.
Tentu saja ini kita apresiasi karena upaya terhadap itu sudah pernah dimulai dan terus dilakukan. Mulai dari kiprah pemerintah melalui program digitalisasi pedesaan sampai dengan peran swasta yang merancang metodenya sendiri.
Hemat saya, ada beberapa titik penting yang perlu dipertimbangkan saat merancang atau menggagas desa yang melek digital ini.
Pertama, transparansi. Kebijakan-kebijakan yang ditujukan ke desa, ataupun kebijakan yang dirancang dari desa harus memiliki nilai transparansi yang kuat.
Transparansi ini mencakup semua sektor yang berhubungan dengan masyarakat pedesaan, entah itu soal produk pertanian, pupuk, benih, sarana prasarana, anggaran, dan sebagainya.
Semua informasi mengenai ini harus bisa diakses oleh desa dan tersaji secara berkualitas, terjamin kesahihannya. Desa juga berkomitmen untuk menyampaikan ragam informasi dan kegiatan yang dilakukan ke publik secara terbuka.
Kedua, partisipasi. Apapun yang dilakukan harus berangkat dari kebutuhan dan potensi yang dimiliki desa. Kebijakan awal mungkin bersifat top down, tetapi di tataran praktis, harus berawal dari kondisi desa sendiri.
Inilah yang akan mendorong munculnya partisipasi sehingga keinginan untuk berkiprah di dunia digital, betul-betul karena kesadaran bahwa ini penting bagi mereka. Sifatnya bukan mobilisasi ataupun instruksi, tetapi partisipasi berbasis wilayah dan masyarakat.
Ketiga, jejaring secara global. Melalui fitur dan kecanggihan akses digital, desa tidak lagi sebatas desa itu saja, provinsi ataupun Indonesia. Desa harus bisa berkomunikasi dan berinteraksi dengan belahan dunia lain.
Desa harus bisa berkomunikasi dengan desa lain di Eropa, Afrika, Asia, Amerika dan sebagainya. Tidak hanya itu, mereka juga harus bisa terhubung dengan berbagai lembaga donor ataupun badan dunia, semacam World Bank dan bahkan berbagai lembaga PBB.
Tentu ini butuh keahlian teknis seperti berbahasa, itu soal teknis. Namun yang jelas mereka harus diberikan akses dan juga disiapkan untuk bisa berinteraksi dengan pihak-pihak luar. Itulah jejaring yang harus disiapkan dari awal.
Keempat, kuasa kelola dan kuasa manfaat. Melalui ranah digital, desa diharapkan tidak hanya menerima berbagai asupan informasi, tetapi mereka diberdayakan agar bisa menjadi “pemain” terhadap berbagai kebijakan.
Masyarakat yang punya nilai tawar kuat, bukan sebatas penerima saja. Masyarakat bukan lagi sebagai objek, tetapi subjek aktif yang bisa berbicara tentang kekuatan dan kelebihan yang dimiliki.
Ini bukan hanya soal materi ataupun keuntungan finansial, tetapi berkuasa dan berwenang untuk menentukan masa depan desanya.
Andai ada kebijakan atau program daerah pihak lain kepada desa, maka desa harus bisa dan memiliki kapasitas untuk menilai seberapa besar nilai manfaat dan nilai kelola kepada desa.
Kelima, aspek keberlanjutan. Program ini harus berkelanjutan, tidak bisa hanya sebatas rancangan. Oleh sebab itu, kapasitas dan kemampuan SDM juga harus dipersiapkan.
SDM di sini bukan sebatas operator, tapi pengambil kebijakan, dinamisator, dan juga inovator yang harus selalu meng-update diri dengan ragam kemajuan.
Updating ini berkaitan dengan semua aspek karena perkembangan secara global akan dipastikan masuk dan mewarnai pembangunan di desa.
Keenam, menyeluruh. Program desa berbasiskan digital harus dijamin bersifat menyeluruh, meliputi semua aspek kehidupan masyarakat desa.
Tidak bisa parsial, misalnya, hanya sektor perikanan saja, atau perkebunan semata. Ini diperlukan karena lokasi desa yang kecil akan memiliki intensitas komunikasi yang rapat.
Memilah-milah akan menyebabkan informasi juga parsial, padahal itu berhubungan dengan banyak aspek. Semua harus dilihat dalam satu kesatuan.
Untuk bisa mencapai semua itu, tidak cukup hanya sebatas menyediakan internet bagi desa. Infrastruktur memang penting, tetapi harus bersisian dengan semua unsur yang ada di desa.
Pada konteks ini, desa tidak dipandang hanya wilayah kecil saja, tetapi potensi besar yang akan mendunia. Sekelompok masyarakat yang harusnya bisa menjadi pemain kunci berbasiskan potensi yang dimiliki.
Sasaran akhir tentu saja kesejahteraan dan kemakmuran. Apapun yang dilakukan, apapun bentuk program yang dibuat, basisnya adalah kemakmuran bagi masyarakat desa.
Desa adalah sendi dalam bernegara, karena itu memperkuat pada posisi ini adalah memperkuat sendiri bernegara, yaitu terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat di desa.
Kekuatan inilah yang berkorelasi langsung pada pencapaian cita-cita dan program Sishankamrata berbasis potensi desa sebagai soko guru Kesejahteraan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Penting menekankan ini karena desa harus dijaga identitas kerakyatannya, bukan kekuatan kapitalistik. Kami menyebutnya aplikasi digital untuk Ekonomi Kerakyatan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya