Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 20/03/2024, 14:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Perusahaan pemantau udara IQAir merilis laporan terbaru mengenai kualitas udara dari negara-negara di dunia.

Dalam laporan berjudul World Air Quality Report 2023, Indonesia menempati peringkat ke-14 sebagai negara dengan rata-rata kualitas udara terburuk di dunia.

Di wilayah yang lebih spesifik, Indonesia bahkan dinobatkan sebagai negara dengan rata-rata kualitas udara terburuk se-Asia Tenggara.

Baca juga: Laporan IQAir: Kualitas Udara Indonesia Terburuk se-Asia Tenggara

IQAir menyebutkan rata-rata konsentrasi PM2,5 di Indonesia pada 2023 adalah 37,1 mikrogram per meter kubik.

Di sisi lain, Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) menetapkan, ambang batas konsentrasi PM2,5 sebesar 15 mikrogram per meter kubik per 24 jam, dan 5 mikrogram per meter kubik per tahun.

Itu artinya, rata-rata konsentrasi PM2,5 di Indonesia jauh melebihi ambang batas yang sudah ditetapkan oleh WHO.

Dalam laporan tersebut, kualitas udara di Indonesia tidaklah merata, ada yang sangat buruk dan ada yang sangat bagus.

Baca juga: Kualitas Udara di Eropa Meningkat, Namun Masih Banyak Polusi

Tangerang Selatan, contohnya, menjadi kota dengan kualitas udara terburuk di Indonesia bahkan Asia Tenggara dengan konsentrasi PM2,5 sebanyak 71,1 mikrogram per meter kubik.

Selain itu, ada empat kta lain di Indonesia yang memiliki kualitas udara sangat buruk berdasarkan konsentrasi PM2,5 menurut IQAir.

Dilansir dari laporan World Air Quality Report 2023 dari IQAir, berikut lima kota paling berpolusi berdasarkan konsentrasi PM2,5 di Indonesia.

  1. Tangerang Selatan: 71,1 mikrogram per meter kubik
  2. Tangerang: 54,1 mikrogram per meter kubik
  3. Bekasi: 49,4 mikrogram per meter kubik
  4. Jakarta: 43,8 mikrogram per meter kubik
  5. Bandung: 39,6 mikrogram per meter kubik

Dilansir dari pemberitaan Kompas.com, PM2,5 adalah partikulat yang memiliki diameter partikel lebih kecil dari 2,5 mikrometer atau 0,00025 sentimeter (cm).

Baca juga: Kualitas Udara Menurun, Salah Satu Alasan Pentingnya Pensiun Dini PLTU

PM2,5 terdiri atas berbagai partikel unsur dan zat, di antaranya ialah mineral seperti kalium (K), natrium (Na), aluminium (Al), selenium (Se), kobalt (Co), arsen (As), silikon (Si), kalsium (Ca), seng (Zn), timbal (Pb), sulfat (SO4), mangan (Mn), besi (Fe), karbon organik, amonium (NH4), dan senyawa organik volatil (VOC) seperti formalin dan benzena.

Beberapa masalah kesehatan jangka pendek yang dapat terjadi akibat paparan PM2,5 adalah bersin, meningkatnya aritmia (detak jantung tidak teratur), serangan asma, dan infeksi saluran pernapasan.

Sedangkan untuk jangka panjang, paparan PM2,5 dapat memicu berbagai penyakit seperti penggumpalan darah pada sistem kardiovaskular, potensi terjadinya kanker paru-paru, pneumonia.

Dampak jangka panjang lain dari PM2,5 adalah perkembangan paru-paru yang tidak sesuai pada anak, kelahiran prematur, meningkatnya risiko penyakit alzheimer, parkinson, serta penyakit turunan saraf lainnya.

Baca juga: Kemenperin Wajibkan Industri Rayon Viskosa Pasang Pemantau Kualitas Udara

Global CEO IQAir Frank Hammes mengatakan, lingkungan yang bersih, sehat, dan berkelanjutan adalah hak asasi manusia yang universal.

"Di banyak bagian dunia, kurangnya data kualitas udara menunda tindakan tegas dan melanggengkan penderitaan manusia yang tidak perlu," ucap Hammes dalam keterangan tertulis.

Dia menambahkan, ketersediaan data kualitas udara yang akurat dapat menyelamatkan nyawa.

"Ketika kualitas udara dilaporkan, tindakan akan diambil, dan kualitas udara akan membaik," tutur Hammes.

Baca juga: Tips Menjaga Kualitas Udara di Rumah

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau