Upaya konservasi juga dapat dilakukan dengan mengintegrasikan tindakan ex situ terutama untuk 798 spesies terancam punah yang ada di lokasi risiko kepunahan tertinggi.
“Amfibi tidak seperti hewan lainnya, ia bernapas melalui sebagian kulitnya. Kondisi tersebut menjadikan mereka jauh lebih sensitif terhadap faktor lingkungan,seperti penyakit, polusi, bahan kimia beracun, radiasi ultraviolet, perubahan iklim dan perusakan habitat,” imbuh Amir.
Untuk menghadapi ancaman eksplotasi lahan dalam bentuk perluasan pertanian dan peternakan perlu dilakukan perlindungan situs penting secara global bagi amfibi, termasuk Situs Alliance for Zero Extinction dan Kawasan Keanekaragaman Hayati Utama.
Upaya ini dilakukan untuk menjaga habitat yang tersisa bagi spesies yang terancam atau terbatas secara geografis.
Baca juga: Seperti Apa Amfibi Purba yang Berenang Mirip Buaya pada 250 Juta Tahun Lalu?
Sedangkan untuk menghindari pandemi amfibi global gelombang kedua akibat jamur Batrachochytrium dendrobatidis dan B salamandrivorans, perlu dikembangkan manajemen penyakit yang praktis.
“Kemauan politik (political will) dan komitmen dari pihak terkait serta peningkatan investasi juga sangat diperlukan untuk membalikkan tren populasi amfibi yang terus menurun,” ujar Amir.
Target konservasi keanekaragaman hayati diperlukan untuk kelangsungan hidup mereka di masa depan.
Defisiensi data terhadap 909 spesies masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kepunahan risiko dan kebutuhan konservasinya.
Baca juga: Penurunan Populasi Amfibi Sebabkan Peningkatan Kasus Malaria
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya