KOMPAS.com - Organisasi non-profit Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia) bersama Koalisi Forests & Finance merilis laporan Banking on Biodiversity Collapse (BOBC), pada Rabu (27/3/2024).
Laporan BOBC menampilkan data mengenai peran pendanaan besar dalam mendorong deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati, perubahan iklim, dan pelanggaran hak asasi manusia di kawasan hutan tropis.
Direktur Eksekutif TuK INDONESIA Linda Rosalina mengungkapkan, laporan ini menjadi bukti bahwa kebijakan terkait lingkungan, sosial, dan tata kelola (environment, social, governance atau ESG) bank-bank besar di Indonesia masih tertinggal.
Sejumlah bank besar juga dinilai gagal mencegah hilangnya hutan dan keanekaragaman hayati di Tanah Air.
“Seharusnya bank-bank ini ikut menjalankan penegakkan komitmen Nol Deforestasi, Nol Pembangunan di Lahan Gambut, dan Nol Eksploitasi (NDPE) pada tingkat grup perusahaan," ujar Linda di Jakarta, Rabu (27/3/2024).
Baca juga: Bank BUMN Dinilai Tak Serius Dukung Penurunan Emisi Karbon
Menurutnya, perbankan dapat meminta perusahaan-perusahaan untuk mematuhi komitmen tersebut sebagai syarat pembiayaan yang ditujukan bagi nasabah non-NDPE mereka.
"Namun, implementasi komitmen ini sering kali tidak jelas. Belum ada satu pun dari lima bank terbesar di Indonesia yang mengadopsinya, padahal bank-bank yang berasal dari Malaysia, Singapura dan Jepang baru-baru ini mulai mengadopsi kebijakan yang sejalan dengan NDPE,” imbuh dia.
Menurut laporan tersebut, sejak Perjanjian Paris, bank-bank di Indonesia seperti Bank Mandiri, BRI, BCA, dan BNI menjadi bank terbesar di Asia Tenggara yang merisikokan hutan di Indonesia.
Berdasarkan kapitalisasi pasar (Juni 2023) bank-bank ini menyediakan pembiayaan sekitar 30,5 miliar dolar AS (40 persen) dari total kredit bagi perusahaan kelapa sawit, pulp dan kertas, karet, serta kayu yang beroperasi di Indonesia.
Lebih lanjut, kata Linda, melemahnya Taksonomi Hijau OJK sebagai regulator yang berubah menjadi Taksonomi untuk Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) pada awal tahun 2024 ini melemahkan pedoman lingkungan hidup di beberapa sektor, termasuk energi dan pertambangan.
"Sehingga memberikan sinyal yang membingungkan bagi pelaku pasar keuangan mengenai di mana mereka harus mengalokasikan modalnya," tutur Linda.
Sebagai informasi, TKBI telah menghapuskan kategori ‘merah’ untuk sejumlah kegiatan berdampak tinggi.
Misalnya, pertambangan nikel tanpa ada batas waktu yang jelas mengenai berapa lama kategori transisi ini akan berakhir.
Menurutnya, di antara perusahaan-perusahaan penerima kredit, Sinar Mas Group (SMG) sebagai pengendali Asia Pulp & Paper dan Golden Agri Resources, teridentifikasi menerima 38 persen dari kredit yang dikucurkan untuk sektor ini. Sedangkan Royal Golden Eagle (RGE) Group menerima 5,8 miliar dolar AS.
Serupa dengan SMG, pembiayaan kepada RGE sebagian besar ditujukan pada pulp dan paper, serta sebagian kecil ditujukan pada minyak sawit.
Baca juga: 10 Provinsi dengan Deforestasi Terparah 2023, Mayoritas di Kalimantan
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah Bayu Herinata mengungkapkan sekitar 5.000 orang dari Kecamatan Hanau, Kabupaten Seruyan hingga saat ini masih menuntut plasma di perkebunan sawit PT Tapian Nadenggan, anak usaha Sinar Mas Group.
Menurutnya, meski perusahaan sudah beroperasi sejak dua dekade lalu, hingga hari ini perusahaan belum merealisasikan salah satu kewajiban yaitu membangun kebun untuk masyarakat sekitar atau plasma.
"Tuntutan masyarakat dengan melakukan aksi-aksi demonstrasi di lapangan sejak tahun 2022 sampai hari ini belum mendapatkan kepastian terkait tuntutan yang disampaikan kepada perusahaan,” tutur Bayu.
Lebih lanjut, kata dia, Sinar Mas Grup dan Best Agro International Grup di Kalimantan Tengah dinilai telah melakukan aktivitas perusakan lingkungan seperti deforestasi hutan, hingga pencemaran sungai dan danau.
Adapun sebelumnya, dikutip dari Kompas.com (27/3/2024), dua perusahaan RGE dan Sinar Mas Grup mengeklaim telah mengadopsi bisnis berkelanjutan dan membantah terlibat dalam deforestasi serta kebakaran hutan dan lahan.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya