Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 17/04/2024, 17:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Asia Tenggara keluar dari jalur investasi hijau yang bertujuan untuk mereduksi emisi gas rumah kaca (GRK).

Lembaga konsultan global Bain & Company menyampaikan, negara-negara di kawasan Asia Tenggara perlu memiliki regulasi dan mekanisme finansial yang baru agar investasi hijau dapat sesuai jalur.

Kajian tersebut dirilis Bain & Company berkolaborasi dengan GenZero, Standard Chartered Bank, dan Temasek.

Baca juga: Perkembangan Energi Terbarukan Global: Besar, tapi Belum Sesuai Target

Untuk diketahui, konsumsi energi di Asia Tenggara diproyeksikan meningkat sampai 40 persen pada 2030, sebagaimana dilansir Reuters, Senin (15/4/2024).

Di sisi lain, ketergantungan akan energi fosil masih sangat tinggi, sehingga dikhawatirkan emisi GRK juga semakin terkerek.

Meskipun investasi ramah lingkungan tumbuh sebesar 20 persen tahun lalu, jumlah tersebut masih jauh dari kebutuhan sebesar 1,5 triliun dollar AS.

Emisi dari 10 negara di kawasan ini juga dapat melampaui janji mereka pada 2030 jika terus melanjutkan tren saat ini.

"Kami percaya bahwa percepatan upaya yang dilakukan oleh negara, perusahaan, dan investor sangat penting karena Asia Tenggara masih berada di luar jalur," kata Direktur Pelaksana GenZero Kimberly Tan.

Baca juga: Ahli Ungkap Tantangan Pengembangan UMKM Hijau, Kurang Pendanaan

Energi ramah lingkungan di Asia Tenggara hanya menyumbang 10 persen dari total pasokan, sedangkan subsidi bahan bakar fosil lima kali lebih tinggi dibandingkan investasi energi terbarukan.

Biaya modal yang tinggi, serta regulasi jaringan listrik dan tarif yang tidak menentu, juga mempersulit pendanaan proyek energi terbarukan.

Laporan tersebut menyatakan, 60 persen pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di wilayah tersebut relatif baru.

Ini berarti, pembangkit-pembangkit tersebut masih terikat dengan perjanjian pembelian jangka panjang dan komitmen pengembalian investasi, sehingga menjadikan PLTU di sana jauh lebih sulit untuk ditutup.

Kepala Ekonom Energi International Energy Agency (IEA) Tim Gould menuturkan, ada lebih dari 1 triliun dollar AS modal yang belum pulih dari PLTU-PLTU baru, sebagian besar ada di Asia.

Baca juga: Koperasi Hijau di Daerah Terpencil Mampu Ciptakan Green Jobs

"Hal ini tidak memberikan banyak ruang bagi energi terbarukan untuk tumbuh sehingga diperlukan pendekatan pembiayaan yang kreatif," tutur Gould.

Sementara itu, hanya empat dari 10 negara di Asia Tenggara yang dinilai mencapai kemajuan dalam menentukan harga karbon.

Keempat negara tersebut adalah Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Vietnam.

Laporan tersebut menyerukan lebih banyak kebijakan dan insentif, kerja sama regional yang lebih besar, dan fokus berkelanjutan pada teknologi yang sudah dapat diterapkan.

Baca juga: PLN dan Perusahaan China Kaji Pengembangan Energi Hijau di Sulawesi

"Kabar baiknya adalah Asia Tenggara masih sangat awal dalam perjalanan dekarbonisasi, sehingga mereka mendapat manfaat dari banyaknya upaya untuk mengurangi emisi saat ini," kata Tan.

Laporan tersebut menyebutkan, ada 13 ide yang dapat diinvestasikan untuk menghasilkan pendapatan sebesar 150 miliar dollar AS pada 2030, termasuk pertanian berkelanjutan dan pembangkit listrik energi terbarukan berskala utilitas.

Asia Tenggara adalah wilayah dengan kinerja terburuk kedua dalam hal investasi energi terbarukan, setelah Afrika Sub-Sahara, menurut laporan pada bulan April oleh Dewan Pembangunan Ekonomi Singapura dan konsultan McKinsey.

Laporan tersebut mengatakan, instalasi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) tahunan perlu ditingkatkan menjadi 35 gigawatt (GW) selama periode 2030-2050 jika janji net zero emission (NZE) regional ingin dipenuhi.

Baca juga: Tip Makan Bertanggung Jawab untuk Jalani Ramadhan Hijau

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau