Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Danur Lambang Pristiandaru
Wartawan

Content Writer Lestari Kompas.com
Alumnus Prodi Ketahanan Energi Universitas Pertahanan

Mengapa Kita Harus Khawatir Peningkatan Gas Metana?

Kompas.com - 25/04/2024, 16:53 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BULAN lalu, Badan Energi Internasional atau International Energi Agency (IEA) melaporkan emisi metana dari sektor energi pada 2023 mencapai 128 juta ton pada 2023.

Sebagai gambaran, bayangkan saja gas metana dengan total berat lebih dari 20 juta gajah afrika lepas begitu saja ke udara.

Sebagai perbandingan, angka pada 2023 naik sekitar 3 juta ton dari 2022 yang tercatat 125 juta ton. Emisi metana dari energi berasal dari aktivitas minyak, gas, batu bara, dan bioenergi.

Itu hanya dari sektor energi saja dan selama setahun, belum termasuk sektor lain penyumbang emisi metana seperti pertanian dan alihfungsi lahan.

Bila menilik dalam lanskap yang lebih luas, konsentrasi gas metana di atmosfer hingga Desember 2023 mencapai 1,9 bagian per juta atau parts per million (ppm) menurut data badan atmosfer dan kelautan AS, National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA).

Satu ppm metana menunjukkan bahwa satu dari setiap juta molekul dalam sampel udara adalah metana.

Bila dibandingkan lebih jauh lagi, konsentrasi metana di atmosfer sebelum Revolusi Industri hanya 0,7 ppm.

Itu artinya, konsentrasi metana di atmosfer saat ini naik 271 persen dibandingkan masa-masa sebelum abad ke-18.

Besarnya emisi metana tersebut membuat komunitas ilmiah khawatir. Dan kita sudah sepatutnya ikut prihatin.

Memerangkap panas lebih kuat

Metana memang memiliki umur di atmosfer yang lebih pendek dibanding karbon dioksida. "Umur" metana antara tujuh hingga 12 tahun di atmosfer, sedangkan karbon dioksida "berusia" lebih dari 100 tahun.

Meski memiliki "umur" yang relatif pendek, metana memerangkap panas matahari 25 kali lebih besar daripada karbon dioksida.

Setiap gas rumah kaca memiliki nilai potensi pemanasan global atau global warming potential (GWP). Nilai GWP mengukur seberapa besar potensi suatu gas sebagai kontributor perubahan iklim.

Menurut Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim atau Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), nilai GWP untuk metana antara 84-87 ketika mempertimbangkan dampaknya dalam jangka waktu 20 tahun.

Apabila mempertimbangkan dampaknya dalam jangka waktu 100 tahun sama seperti karbon dioksida, nilai GWP-nya antara 28-36.

Artinya, 1 ton metana bisa dianggap setara dengan 28 hingga 36 ton karbon dioksida jika melihat dampaknya selama 100 tahun.

Sejauh ini, berdasarkan penghitungan yang dilakukan IEA, metana berkontribusi sekitar 30 persen atas kenaikan suhu Bumi sejak Revolusi Industri.

Sedangkan menurut penelitian yang dipimpin Profesor Emeritus Euan Nisbet dari Royal Holloway University of London, peran metana terhadap iklim jauh lebih dominan.

Dalam penelitian Nisbet, metana menjadi biang keladi utama di setiap mencairnya periode zaman es.

Saat ini, emisi metana Bumi meningkat dengan cepat sejak 2006. Emisi metana dalam kurun 2006 sampai 2022, alias 16 tahun, setara dengan peningkatan metana mencairnya zaman es terakhir sekitar 12.000 tahun lalu.

Karena fenomena tersebut, kemungkinan besar Bumi akan mencapai iklim yang lebih hangat lebih cepat, sehingga membawa perubahan besar terhadap iklim planet ini.

Saking berbahayanya metana terhadap iklim di Bumi, berbagai pihak mulai meluncurkan satelit khusus untuk memantau secara akurat dan siapa yang harus bertanggung jawab.

Terbaru, raksasa teknologi Google bekerja sama dengan Environmental Defense Fund meluncurkan satelit bernama MethaneSat yang melacak kebocoran metana secara lebih presisi dari sektor energi fosil, utamanya minyak dan gas.

Aktivitas manusia

Menurut data IEA, peningkatan emisi metana secara drastis saat ini tidak bisa dilepaskan dari campur tangan manusia.

Pada 2022, dari total emisi metana yang lepas ke atmosfer, 40 persen di antaranya berasal dari proses alamiah.

Sisanya, 60 persen emisi metana yang lepas ke atmosfer disebabkan oleh aktivitas manusia seperti penggunaan energi, pertanian, sampah, pembakaran, dan lainnya.

Sektor pertanian dan energi menjadi kontributor terbesar pelepasan emisi metana akibat aktivitas manusia.

Sementara itu, lima negara penghasil metana terbesar di dunia adalah China, India, Amerika Serikat (AS), Rusia, dan Brasil.

Secara keseluruhan, kelima negara tersebut bertanggung jawab atas hampir separuh emisi metana secara global.

Di sisi lain, komunitas internasional sebenarnya sudah menyepakati traktat pengurangan emisi metana bernama Global Methane Pledge.

Perjanjian antarnegara yang diluncurkan pada 2021 bertepatan COP21 tersebut menargetkan dapat memangkas emisi metana setidaknya 30 persen pada 2030 dengan baseline 2020.

Namun, tersisa tujuh tahun lagi untuk mencapai target tersebut, sedangkan tingkat emisi metana dari tahun ke tahun justru semakin meningkat.

Tanpa adanya komitmen dan aksi iklim yang ambisius dari para pemangku kepentingan, target yang diikrarkan hanya sebatas janji. Dan Bumi tempat kita hidup hanya ada satu.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com