KOMPAS.com - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengingatkan kembali ihwal dampak peningkatan suhu udara terhadap sektor pertanian di Indonesia.
Kepala Pusat Riset Tanaman Pangan BRIN Yudhistira Nugraha mengatakan, kenaikan suhu dapat mempengaruhi produktivitas tanaman pangan.
"Laju evaporasi lebih tinggi, sehingga air lebih banyak hilang dan laju transpirasi juga meningkatkan yang membuat tanaman lebih banyak membutuhkan air," ujarnya sebagaimana dilansir Antara, Jumat (3/5/2024).
Baca juga: Violet Sun Agro+, Solusi Pertanian Lahan Kering Bertenaga Surya
Yudhistira menjelaskan, ketika suhu meningkat saat malam hari, akan ada kompensasi hasil fotosintesis yang akan dibuang melalui transpirasi, sehingga hasil panen menurun.
Pada tanaman tertentu seperti padi, fase yang paling sensitif suhu tinggi lebih dari 35 derajat celsius adalah saat pembungaan.
Suhu udara yang tinggi dapat menyebabkan keguguran polen atau serbuk sari, sehingga tanaman menjadi hampa.
Bentuk mitigasi yang dapat dilakukan petani adalah menanam varietas yang tahan terhadap suhu tinggi.
Baca juga: Setiap Kenaikan Suhu 1 Derajat, Produktivitas Pertanian Turun 10 Persen
Sampai saat ini belum banyak dilakukan pemuliaan padi yang toleran suhu tinggi, namun ada beberapa varietas yang sudah dilepas dari program penelitian cekaman suhu tinggi, yaitu tetuanya varietas dular yang tahan suhu tinggi.
"Karena di Indonesia tidak ada cekaman suhu tinggi untuk saat ini --tidak seperti di negara-negara tropis yang lebih dari 11 derajat lintang utara-- maka belum terbukti adaptasinya," kata Yudhistira.
Berdasarkan pemberitaan sebelumnya, gelombang panas atau heatwave yang tengah melanda beberapa negara di kawasan Asia, seperti Filipina, Thailand, India, hingga Bangladesh.
Fenomena gelombang panas merupakan siklus rutin yang terjadi setiap tahun saat matahari bergerak ke belahan bumi.
Baca juga: BRIN-PT Nestle Indonesia Kolaborasi Riset Pertanian Berkelanjutan
Radiasi matahari menyebabkan pemanasan di permukaan bumi, sehingga menimbulkan gelombang panas di wilayah daratan.
Yudhistira mengungkapkan, meski peningkatan suhu udara terjadi di sejumlah negara Asia dan menyebabkan kerusakan terhadap lahan-lahan pertanian, namun belum ada laporan dampak fenomena itu ke Indonesia.
"Mungkin karena Indonesia agak lebih ke selatan garis ekuator (efek panas berkurang)," ucapnya.
Baca juga: Modernisasi Pertanian, Kementan Dorong Listrik Masuk Sawah
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya