Oleh: Kunny Izza Indah Afkarina dan Pradygdha Kumayan Jati*
SELAMAT untuk para pemimpin negeri yang telah terpilih dalam Pemilu 2024. Tantangan baru telah menyambut: sekitar 110.000.000 penduduk Indonesia masuk kategori miskin pada standar Bank Dunia untuk Purchasing Power Parity (PPP) terbaru.
Bagaimana menghadapi tantangan tersebut sekaligus mengoptimalkan bonus demografi Indonesia yang dimulai sejak 2020 sampai 2035?
Indonesia memiliki peluang emas menjadi negara dengan perekonomian terbesar ketujuh di dunia pada 2030 (Studi McKinsey 2012) dan perekonomian terbesar keempat pada 2050 (Studi Goldman Sachs 2022), di antaranya melalui pembangunan ekonomi hijau.
Salah satu strategi yang dapat dilaksanakan adalah desentralisasi Energi Baru Terbarukan (EBT) yang berkeadilan.
Demografi yang tersebar di luar Jawa, Madura, dan Bali menyebabkan tingginya biaya investasi infrastruktur. Sebagian besar teknologi EBT masih impor turut meningkatkan biaya investasi EBT dan menyebabkan terhambatnya perkembangan EBT di tingkat daerah.
Pada sisi lain, setiap daerah juga memiliki ragam potensi EBT dengan masing-masing skala kapasitas yang cukup besar, maupun potensi ekonomi produktif dengan produk-produk kualitas ekspor.
Analisa Bank Dunia telah menjabarkan bahwa kurangnya pengembangan kemampuan inovasi dalam negeri merupakan jantung dari middle-income trap.
Di antaranya adalah strategi pasar yang menghasilkan pertumbuhan produktivitas yang buruk, deindustrialisasi yang cepat, menurunnya kecanggihan/daya saing ekspor, kinerja inovasi yang buruk, dan rendahnya investasi pada kemampuan sosial yang diperlukan.
Inovasi dengan penyebaran teknologi EBT dan industri pertanian menjadi teknologi lokal dapat menjadi katalis dalam mempercepat pembangunan ekonomi hijau Indonesia di daerah serta mewujudkan usaha negara Indonesia keluar dari middle-income trap.
Persentase elektrifikasi yang saat ini masih belum secara menyeluruh menunjukkan kondisi ketidaksetaraan distribusi energi listrik di Indonesia.
Elektrifikasi di Indonesia, dibanding 2022, meningkat 16 persen menjadi 99,78 persen di akhir tahun 2023.
Meskipun mayoritas masyarakat sudah teraliri listrik, masih banyak kawasan yang tidak mendapatkan ketersediaan listrik selama 24 jam dan hanya terbatas untuk listrik berdaya rendah.
Ketidakmerataan akses dan keandalan energi listrik dapat berpengaruh terhadap pendidikan dan perekonomian masyarakat sehingga dapat memicu arus urbanisasi.
Arus urbanisasi menyebabkan terjadinya brain drain di pedesaan, sehingga terjadi kekurangan jumlah tenaga terampil.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya