KOMPAS.com - Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) tidak cukup hanya diundangkan.
Pelaksanaan UU TPKS memerlukan dukungan perangkat peraturan pelaksana yang menjadi panduan pemangku kepentingan yang mengemban kewajiban dalam pencegahan, penanganan, pelindungan, dan pemulihan Korban TPKS.
Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Siti Aminah Tardi pada Jumat (35/2024) mengatakan, UU TPKS memandatkan 10 peraturan pelaksana.
Baca juga: Komnas Perempuan: Tak Ada Restorative Justice Bagi Pelaku TPKS
Peraturan-peraturan pelaksana tersebut wajib disahkan paling lambat dua tahun sejak UU TPKS diundangkan, yaitu 9 Mei 2024.
Akan tetapi, peraturan pelaksana tersebut dipangkas dari 10 menjadi tujuh. Dari tujuh, kini baru dua peraturan yang disahkan.
Kedua peraturan tersebut adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Pencegahan dan Penanganan TPKS dan Perpres Nomor 55 55 Tahun 2024 tentang Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA).
Sehingga, masih ada lima peraturan pelaksana yang seharusnya diundangkan paling lambat 9 Mei 2024.
Baca juga: Implementasi UU TPKS Masih Belum Maksimal, Kapasitas Aparat Perlu Ditingkatkan
Siti menyampaikan, UU TPKS memerlukan berbagai peraturan pelaksana agar berbagai sarana dan prasarana pemenuhan hak korban dapat optimal dipenuhi
"Ketika RUU disahkan menjadi UU TPKS, kami menyadari undang-undang ini tidak cukup hanya diundangkan," kata Siti dilansir dari situs web Komnas Perempuan.
Selain itu, Siti menyampaikan pentingnya sinkronisasi UU TPKS dengan aturan lainnya seperti dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP), UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dan UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP).
Dia juga mengungkapkan pentingnya penggunaan UU TPKS saat pemeriksaan dan penanganan kasus kekerasan seksual dalam sistem peradilan pidana terintegrasi dengan sistem layanan pemulihan korban.
Baca juga: Aturan Turunan UU TPKS Dikebut, Target Rampung Tahun Ini
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik Jawa Barat Ratna Batara Munti mengungkapkan, ada beragam tantangan dari implementasi UU TPKS di lapangan.
Dia menjelaskan, masih ditemukan aparat penegak hukum (APH) yang melakukan penyelesaian penanganan kasus di luar proses peradilan.
Menurut riset, pada 2020 hanya ada 19,2 persen kasus TPKS yang diproses hukum sampai tuntas.
Sisanya diselesaikan secara damai. Bahkan ada korban yang dinikahkan dengan pelaku.
"Korban dewasa dianggap suka sama suka atau kasus perzinahan jadi dianggap tidak ada kekerasan, cuma dianggap melanggar kesusilaan. Hasil riset 2020 ini tidak ujug-ujug terhapus karena ada UU TPKS ya, kondisi ini masih terjadi," tuturnya.
Baca juga: Aturan Pelecehan Seksual Non-Fisik Menurut UU TPKS
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya