KOMPAS.com - Pemerintah lima negara di Asia Tenggara memandang hidrogen sebagai elemen penting untuk mencapai target iklim dan mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar fosil.
Meskipun hidrogen akan memainkan peran penting dalam jangka menengah terkait dekarbonisasi sektor industri tertentu seperti bahan kimia, besi dan baja, memprioritaskan penggunaan energi terbarukan yang lebih cepat akan membantu memastikan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Laporan terbaru dari Agora Industry dan Agora Energiewende merekomendasikan Asia Tenggara perlu segera meningkatkan produksi energi terbarukan untuk mengurangi permintaan bahan bakar fosil, ketimbang beralih ke hidrogen.
Baca juga: Pertamina Hulu Energi Dalami Potensi Eksplorasi Hidrogen Natural
Direktur Asia Tenggara Agora Energiewende Dimitri Pescia mengatakan, menghilangkan hambatan masuk pasar, memberikan kepastian investasi jangka panjang dan memfasilitasi integrasi sistem tenaga listrik dapat membantu menumbuhkan pasar energi terbarukan yang kompetitif.
Menurutnya, meskipun hidrogen penting, namun kurang efisien dibandingkan elektrifikasi langsung karena hilangnya konversi energi.
"Memproduksi hidrogen bersih juga memerlukan penggunaan energi terbarukan tambahan secara signifikan," kata Pescia dalam keterangannya kepada Kompas.com, Senin (13/5/2024).
Studi ini menemukan bahwa elektrifikasi langsung berbasis energi terbarukan akan memainkan peran yang lebih penting dibandingkan hidrogen dalam sistem energi masa depan.
Hal ini menggarisbawahi perlunya cadangan hidrogen di mana elektrifikasi langsung bukanlah suatu pilihan.
Pemanfaatan tersebut mencakup bahan baku di sektor kimia, bahan reaksi untuk manufaktur baja, penerbangan dan pelayaran, atau di sektor tenaga listrik untuk penyimpanan energi jangka panjang yang digunakan untuk mendukung tenaga surya dan angin.
Baca juga: Pemerintah Terus Kembangkan Inovasi Energi Hijau, Termasuk Hidrogen
Namun, penggunaan amonia, turunan hidrogen, pada pembangkit listrik tenaga batubara tidak efisien dan efektif dalam mengurangi emisi gas rumah kaca.
Studi ini juga menemukan, penggunaan hidrogen di luar penerapan dapat meningkatkan permintaan di Asia Tenggara hingga lima kali lipat, dibandingkan dengan skenario yang mengutamakan elektrifikasi.
Hal ini akan memberikan tekanan tambahan pada pasokan listrik dan ketersediaan sumber daya serta memerlukan investasi tambahan yang signifikan dalam bidang energi terbarukan.
Oleh karena itu, Pescia merekomendasikan Pemerintah negara Asa Tenggara fokus pada elektrifikasi langsung dan pengembangan industri rendah karbon sambil mempertimbangkan potensi permintaan hidrogen dengan hati-hati.
"Penggunaan hidrogen terbarukan yang ditargetkan dapat membantu menjaga permintaan dan harga listrik tetap terkendali," cetusnya.
Meskipun memiliki sumber daya terbarukan yang melimpah untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri, Asia Tenggara menghadapi tantangan dalam menjadikan biaya produksi hidrogen lebih kompetitif dibandingkan dengan wilayah pengekspor potensial lainnya yang memiliki sumber daya energi terbarukan yang lebih baik.
Menjadi pusat perdagangan hidrogen global, seperti yang diusulkan oleh beberapa negara Asia Tenggara, kemungkinan besar tidak akan terwujud dan berisiko terhadap investasi infrastruktur yang mungkin terhambat.
Baca juga: Keuntungan Hidrogen di Indonesia, Jadi Alternatif Energi Murah
Fokus pada produksi barang bernilai lebih tinggi, seperti baja ramah lingkungan atau bahan kimia (metanol, amonia, dan pupuk) akan menciptakan potensi ekspor turunan hidrogen di pasar global, khususnya ke negara-negara Asia Timur.
Seiring dengan transisi dunia menuju netralitas iklim, akan ada peningkatan permintaan akan produk rendah karbon produk seperti baja hijau, metanol dan amonia.
"Asia Tenggara dapat memanfaatkan potensi ini dengan menggunakan hidrogen terbarukan untuk memproduksi bahan-bahan tersebut dan dengan demikian meningkatkan daya saing industri dan menciptakan lapangan kerja baru, sehingga membawa manfaat sosial-ekonomi yang penting bagi kawasan ini,” tutur Pescia.
Kerangka kebijakan lintas sektoral untuk energi terbarukan dan hidrogen yang mencakup standar lingkungan dan sosial yang kuat dapat menarik calon investor dan menciptakan lapangan kerja baru.
Selain itu diperlukan tindakan-tindakan untuk menarik investasi swasta dan internasional dalam pengembangan energi terbarukan dan hidrogen.
Tindakan tersebut termasuk menetapkan tujuan dan target kebijakan yang jelas untuk memberikan sinyal positif mengenai jalur jangka menengah dan panjang.
Pemerintah negara-negara di Asia Tenggara juga dapat mengambil manfaat dari kerja sama untuk mengembangkan strategi dan kebijakan hidrogen yang selaras dengan net-zero.
Strategi-strategi ini harus mendorong perluasan energi terbarukan untuk mendekarbonisasi sektor-sektor di mana elektrifikasi merupakan solusi paling efisien dan mencadangkan hidrogen terbarukan untuk penerapan di mana elektrifikasi tidak memungkinkan.
Baca juga: Hidrogen Diharapkan Jadi Kontributor Transisi Energi RI
Kolaborasi tersebut dapat dilakukan melalui ASEAN, sejalan dengan visi integrasi ekonomi regional dan kepatuhan terhadap peraturan perdagangan multilateral.
Terakhir, pengenalan instrumen pembiayaan yang baik merupakan prioritas penting untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan, jaringan listrik dan kapasitas produksi serta infrastruktur hidrogen di wilayah tersebut.
Banyak negara Asia Tenggara tidak memiliki pendanaan publik yang diperlukan untuk mendukung pengembangan energi terbarukan dan produksi atau permintaan hidrogen dalam skala besar.
"Kami menyimpulkan bahwa demonstrasi dan proyek percontohan dapat membantu menarik investasi sektor swasta dalam bidang energi terbarukan, hidrogen, dan dekarbonisasi industri," tuntas Pescia.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya