JAKARTA, KOMPAS.com - Anak-anak Rimba yang tinggal di belantara pedalaman hutan Jambi menghadapi beragam tantangan untuk belajar, bahkan sesederhana untuk melek huruf dan angka.
Staf pengajar Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Yohana Marpaung mengatakan, salah satu tantangan terbesar yang dihadapi anak-anak Rimba adalah karena kebiasaan hidup berpindah-pindah atau nomaden. Ini terjadi di antaranya saat sumber daya telah habis, dan karena adanya tradisi Melangun.
Melangun membuat kelompok masyarakat Rimba harus pindah tempat karena berduka, karena ada anggota kelompok yang meninggal. Alhasil, pengajaran non-formal maupun edukasi formal kepada anak-anak Rimba terpaksa terputus.
Baca juga: 5 Kunci Kerberhasilan Swasta Intervensi Kebijakan Pendidikan Indonesia
"Tantangan utamanya adalah karena mereka semi nomaden, hidup berpindah-pindah. Pernah ada sekolah yang dibuat perusahaan, satu bulan saja anaknya di sana, tiba-tiba ada yang meninggal, akhirnya pindah bisa sampai enam bulan atau tahunan," ujar Yohana, saat ditemui di Jakarta, Minggu (19/5/2024).
Siswa yang pindah tersebut, ia menambahkan, terpaksa meninggalkan rumah, barang-barang, dan perlengkapan sekolahnya.
Adapun saat ingin kembali lagi, teman-teman seumurannya sudah tidak berada di jenjang yang sama, sehingga sulit untuk anak tersebut beradaptasi atau mengulang dari awal. Kemampuan mengingat materi pelajaran juga seringkali terlupakan.
Sementara itu, kondisinya tidak berbeda jauh dengan sekolah non-formal. Pada tahun 2019, KKI Warsi mendirikan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat yang dinamakan PKBM Bunga Kembang.
Sudah kurang lebih lima tahun, Yohana dan tim relawan pengajar PKBM Bunga Kembang secara rutin mendatangi anak-anak Rimba di hutan, menempuh perjalanan berliku berjalan kaki sekitar 3-5 jam.
Guna meningkatkan pendidikan dan menggali mata pencaharian potensial masyarakat komunitas adat orang Rimba, ia dan rekan-rekannya kerapkali ikut menginap dan beraktivitas bersama komunitas Rimba di tengah hutan.
Tujuannya, kata dia, demi mengenalkan angka dan aksara bagi kelompok nomadik tersebut. Selain itu, pengajarannya juga konseptual, atau menyesuaikan dengan kebutuhan saat itu.
"Makanya banyak yang suka mempertanyakan juga, misalnya 'Kok dari tahun berapa sudah diajari, masih banyak yang belum bisa baca' seperti itu, padahal memang tantangannya ya karena nomaden," terang dia.
Baca juga:
Berkaitan dengan nomaden, Yohana menyebut masih minimnya masyarakat komunitas adat orang Rimba yang memiliki data administrasi atau kependudukan. Hal ini pun menghambat anak-anak untuk masuk ke sekolah formal.
"Karena berpindah-pindah tadi, pegawai administrasi tentu sulit untuk mengumpulkan data mereka. Mereka juga masih menganut sistem kepercayaan tradisional, seperti perempuan tidak boleh difoto atau direkam, jadi sulit kan membuat kartu tanda pengenal (KTP)," tutur Yohana.
Ia menjelaskan, butuh lobi dan syarat khusus agar perempuan Orang Rimba boleh difoto, dalam rangka perekaman data kependudukan tersebut.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya