JEJERAN pegunungan cadas Enrekang yang cantik nampak di sepanjang jalan menuju Desa Kaluppini yang berjarak kurang lebih 30 menit dari pusat Kota Enrekang, Sulawesi Selatan. Desa ini merupakan salah satu dari desa yang dihuni oleh masyarakat adat Kaluppini.
Sama seperti sebagian masyarakat adat lainnya, masyarakat adat Kaluppini juga masih memegang teguh kepercayaan dan hukum adatnya.
Mereka hidup bergantung dari alam yang menyediakan sumber pangan bagi masyarakat setempat. Sumber daya alam memiliki peran penting dalam kelangsungan hidup masyarakat adat Kaluppini.
Meski demikian, dampak perubahan iklim juga turut dirasakan masyarakat adat Kaluppini. Salah satunya adalah bagaimana tanaman produksi yang bergantung pada curah hujan kekeringan air, longsor, serta dampak pada aspek peternakan di mana kurangnya ketersediaan pakan ternak saat musim kemarau tiba.
Perubahan iklim turut menyebabkan perubahan-perubahan dari pola perilaku pangan masyarakat adat.
Salah satu contoh dari buku berjudul Kumande Samaturu: Berdaulat Pangan di Kaluppini yang ditulis oleh Nurbaya, peneliti dari Politeknik Kesehatan (Poltekkes) Kementerian Kesehatan Mamuju, Sulawesi Barat, menyebutkan dahulu makanan pokok masyarakat adat Kaluppini tidak hanya nasi, tapi juga ba’tang atau jewawut.
Namun produksi ba’tang berkurang sejak bertahun-tahun lalu, sehingga mereka mengganti bahan makanan pokok utama menjadi beras.
Meski demikian, jumlah produksi pangan juga tidak menentu, sehingga membuat masyarakat adat masih harus membeli beras dan bahan pangan dari luar karena kurangnya ketersediaan pangan akibat gagal tanam dan gagal panen.
Masyarakat adat memiliki ragam ritual yang wajib dilakukan sesuai dengan aturan adat yang dimiliki komunitas adat. Tak terlepas bagi masyarakat adat Kaluppini.
Masyarakat adat Kaluppini mempunyai banyak tradisi dan pengetahuan tradisional untuk menyokong ketahanan pangan komunitasnya.
Pengetahuan tradisional ini juga meliputi tentang sistem pertanian dan pengelolaan SDA yang mendukung pelestarian alam untuk menjaga ketahanan pangan komunitas.
Dalam ritual, pangan dan komoditi setempat merupakan sesuatu yang wajib tersedia. Hal ini menunjukkan bahwa berbicara pangan dan komoditas tidak terlepas dari ritual yang berlangsung di masyarakat adat.
Salah satunya adalah ritual adat maccerang manurung. Ritual ini dilaksanakan sebagai bentuk ungkapan syukur dan penghormatan bagi leluhur untuk rejeki yang diterima.
Adapun dalam pelaksanaan upacara maccerang manurung, akan dipersiapkan sejumlah komoditas seperti kerbau jantan berwarna hitam, seekor ayam berbulu coklat, merah dan coklat, beras punu’ (beras khas Kota Enrekang) yang digunakan sebagai bahan utama dalam pembuatan peong, pinang, daun siri, dan kapur.
KEMITRAAN, lembaga yang fokus pada isu tata kelola pemerintahan yang inklusif melalui program Estungkara bagi masyarakat adat mengadakan diskusi dalam mengatasi persoalan ketahanan pangan di masyarakat adat bersama 10 mitra program di 7 provinsi di Indonesia, yaitu Nusa Tenggara Timur, Banten, Jambi, Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan.
Diskusi ini menggunakan media pembelajaran yang dikembangkan Terawang Indonesia bernama Sisi Bulat.
Melalui proses diskusi ini muncul beragam insight terkait persoalan pangan yang dihadapi oleh masyarakat adat. Salah satunya terkait peran adat dalam ketahanan pangan komunitas.
“Biasanya dalam perayaan adat terutama ritual syukur atas hasil panen, bahan pangan komunitas akan digunakan untuk kebutuhan ritual, dan ini mengurangi stok pangan masyarakat dalam beberapa bulan kedepan,” ujar Desmon, Program Manager Karsa Institue, pendamping komunitas adat To Kulawi di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.
Hal ini menunjukkan bahwa ketergantungan masyarakat adat terhadap ketahanan pangan sangat tinggi, termasuk kebutuhan ritual yang menjadi identitas masyarakat adat.
Sehingga perlu strategi dalam mengatasi persoalan kurangnya ketersediaan pangan bagi komunitas dan keluarga, serta isu gagal panen karena perubahan iklim, persoalan hama, pupuk, dan bibit.
Sistem ini merupakan kombinasi dari komponen sumber daya kehutanan, pertanian, dan juga peternakan pada pengelolaan lahan yang sama.
Sistem agrosilvopastura dilakukan dengan sejumlah tahapan seperti pembentukan kader dalam komunitas, pelatihan dan penyuluhan mengenai sistem agrosilvopastura dalam membangun ketahanan pangan.
Selain itu pertanian organik dengan pemanfaatan bahan alami lokal dan pemanfaatan kebun dan pekarangan untuk pertanian organik serta praktik pembuatan pupuk, pelatihan pembuatan silase dan pupuk hijau dan juga pembuatan demplot pertanian organik tanaman sayuran.
Sebagian besar masyarakat adat Kaluppini bekerja di sektor pertanian dan peternakan dengan beberapa jenis tanaman jangka pendek, seperti jagung, kacang tanah, dan bawang merah, serta tanaman jangka panjang, seperti cengkih, kemiri, kakao, dan pala.
Mereka juga menanam padi setahun sekali pada sawah tadah hujan, sehingga pola tanam bergantung pada musim penghujan. Sementara musim hujan di Desa Kaluppini mulai berubah sehingga petani sulit menentukan kapan musim tanam.
Sulawesi Community Foundation (SCF) sebagai salah satu mitra program Estungkara yang mendampingi masyarakat adat Kaluppini dalam menerapkan sistem ini guna membantu masyarakat dalam mengatasi persoalan ketersediaan pangan.
Assesment awal menunjukkan bahwa masyarakat adat kesulitan mendapatkan pupuk dan bibit. Mereka masih bergantung pada subsidi dari pemerintah. Di sisi lain persoalan limbah dan sampah rumah tangga juga muncul dari hasil assessment ini.
“Masyarakat mengeluhkan banyak kotoran sapi di mana-mana, sehingga lingkungan menjadi kotor dan banyak lalat. Padahal hal ini bisa digunakan dan diolah untuk mendorong produksi pertanian sebagai pupuk. Termasuk juga sampah rumah tangga yang belum dimaksimalkan fungsinya,” ujar Sultan, Program Manager SCF saat mendampingi pelatihan kader yang akan menerapkan sistem agrosilvopastura.
Sistem ini akan diujicobakan selama beberapa bulan kedepan sejak April 2024 lalu. Para kader yang berjumlah hampir 20 orang dilatih bagaimana membuat pupuk, MOL (mikro organisme lokal) yang nantinya digunakan untuk kebutuhan pembuatan pupuk organik padat maupun cair, serta juga dilatih bagaimana membuat pakan ternak.
Persoalan ternak juga menjadi isu di komunitas ini, karena saat memasuki musim kemarau, mereka sulit mencari rumput untuk makanan ternak karena rumput menjadi kering.
Sistem agrosilvopastura juga diharapkan mampu memitigasi persoalan banjir yang baru-baru ini juga terjadi di wilayah Kabupaten Enrekang.
Harapannya hasil dari pengembangan agrosilvopastura dapat meningkatkan nilai keragaman produk pertanian, kehutanan dan peternakan sehingga dapat meningkatkan taraf ekonomi masyarakat adat.
Ketersediaan pangan yang cukup ini nantinya dapat mensuplai kebutuhan pangan rumah tangga, ritual adat, dan meningkatkan ekonomi warga dengan memaksimalkan bahan-bahan lokal dan sisa limbah rumah tangga.
Sistem ini tentunya juga mendukung kelestarian lingkungan karena memanfaatkan bahan-bahan alami yang aman digunakan.
“Kegiatan sekolah lapang dengan menerapkan sistem agrosilvopastura ini penting bagi kami bahwa ternyata kami bisa menggunakan sampah-sampah rumah tangga untuk produksi pertanian tanpa merusak lingkungan,” ujar Sutira, salah satu kader Sekolah Lapang dari masyarakat adat Kaluppini, Enrekang.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya