KOMPAS.com - Eropa diprediksi mengalami musim panas dan yang terik pada tahun ini. Jerman dan negara-negara Nordik bersiap menghadapi suhu yang sangat tinggi mulai pekan depan.
Musim panas di "Benua Biru" biasanya berlangsung mulai Juni hingga Agustus.
Saat musim panas tahun lalu, sebagian besar Eropa selatan mengalami panas ekstrem yang berkepanjangan dengan suhu mencapai 47 derajat celsius yang berlangsung hingga dua pekan.
Baca juga: Jepang Diprediksi Alami Musim Panas Lebih Terik Tahun Ini
Wakil presiden meteorologi di Atmospheric G2 Todd Crawford mengatakan, berdasarkan permodelan yang dilakukan, Eropa akan mengalami musim panas yang luar biasa panas tahun ini.
"Terutama selama akhir Juli hingga Agustus," kata Todd Crawfor sebagaimana dilansir The New York Times, Sabtu (24/5/2024).
Perusahaan pengamat cuaca tersebut memperkirakan, suhu saat musim panas tahun ini akan serupa dengan 2022, musim panas terpanas yang pernah tercatat di Eropa.
Tahun ini, panas paling tidak wajar diperkirakan terjadi di wilayah Eropa selatan di negara-negara populer bagi wisatawan seperti Yunani, Kroasia, dan Italia.
Baca juga: Berkat Laut dan Awan, Indonesia Masih Aman dari Gelombang Panas
Sejak 1991, Eropa menjadi salah satu benua yang memanas paling parah. "Benua Biru" mengalami pemanasan dua kali lipat daripada rata-rata global.
Bahkan, 23 dari 30 gelombang panas paling parah di Eropa sejak 1950 telah terjadi sejak 2000, dengan lima gelombang panas terjadi dalam tiga tahun terakhir, menurut Organisasi Meteorologi Dunia atau WMO.
Layanan pemantau perubahan iklim bentukan Uni Eropa, C3S, mengatakan ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap kerentanan benua ini.
Beberapa faktor tersebut adalah proporsi daratan Eropa di Arktik --wilayah dengan pemanasan tercepat di Bumi-- dan perubahan sirkulasi atmosfer.
Baca juga: Gelombang Panas Perburuk Krisis Kemanusiaan di Gaza
Ahli meteorologi dari layanan peramalan Weather & Radar Tamsin Green mengatakan, ada banyak faktor yang memengaruhi perubahan cuaca di Eropa.
Terlebih, dunia saat ini berada dalam fase transisi dari El Nin menuju La Nina, fenomena alami yang berpengaruh besar terhadap pola cuaca dan suhu global.
"Dalam beberapa bulan terakhir, suhu udara dan suhu lautan masih sangat tinggi. Kondisi ini masih bertahan," kata Green.
Meskipun El Nino adalah fenomena pemanasan suhu muka laut (SML) di atas kondisi normalnya di Samudera Pasifik bagian tengah, namun dampaknya bersifat global.
Baca juga: Gelombang Panas di Filipina Tak Mungkin Terjadi Tanpa Krisis Iklim
Green menjelaskan, dampak dari fenomena tersebut seperti efek domino. Cuaca di satu tempat dapat memengaruhi kondisi di belahan bumi lain.
Jika terjadi peningkatan curah hujan di suatu tempat di dunia, maka akan terjadi penurunan curah hujan di tempat lain.
Eropa misalnya, kerap dilanda sisa-sisa badai tropis yang membawa hujan dan angin, sebagaimana dilansir Euronews.
Aktivitas badai di Atlantik, selama musim badai pada bulan Juni hingga November, kemungkinan besar akan meningkat seiring dengan terbentuknya La Nina di Pasifik sehingga mengurangi badai di sana.
Baca juga: BRIN: Indonesia Terlindungi dari Gelombang Panas karena Awan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya