POLEMIK Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) masih terus berlanjut.
Salah satu yang menjadi sorotan adanya privilege bagi badan usaha milik ormas keagamaan untuk mendapatkan penawaran secara prioritas untuk mengelola lahan tambang batu bara bekas pemilik Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B), sebagaimana tertuang pada pasal 83A dalam beleid tersebut.
Dalam konteks produksi batu bara nasional, ini memberi ruang lebar terhadap upaya eksploitasi emas hitam ini. Dengan mengikutsertakan ormas keagamaan dalam usaha pertambangan dapat memicu makin tidak terkendalinya produksi batu bara nasional.
Harus diakui, kebutuhan energi Indonesia saat ini masih sangat bergantung pada sumber energi primer berbasis fosil, khususnya batu bara.
Berdasarkan data bauran energi dari Dewan Energi Nasional (DEN) tahun 2023, batu bara masih mendominasi, yakni sebesar 40,46 persen. Diikuti minyak bumi 30,18 persen dan gas bumi 16,28 persen.
Peran batu bara dalam mendukung penyediaan energi di Indonesia dan keekonomian memang sulit terbantahkan.
Dominasi batu bara tampak semakin kokoh apabila dilihat dari produksi nasional batu bara yang terus meningkat dalam tiga tahun terakhir.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), capaian produksi batu bara 2021 berjumlah 606,28 juta ton. Angka ini mengalami peningkatan sebesar 40,59 juta ton dari capaian tahun 2020.
Pada 2022, produksi batu bara mencapai 685,8 juta ton dan terus meningkat pada 2023 dengan capaian 770,83 juta ton.
Capaian tersebut bahkan melebihi target yang ditetapkan, yakni 694 juta ton, dan tercatat sebagai produksi tertinggi sepanjang sejarah.
Lahirnya PP Nomor 25 Tahun 2024 membawa semangat eksploitasi batu bara dan berpotensi besar memicu peningkatan produksi batu bara nasional tak terkendali.
Tentu hal ini begitu mengecewakan ditinjau dari perspektif ekonomi hijau dan berkelanjutan, khususnya transisi energi.
Semangat eksploitasi dalam PP tersebut sangat kontradiktif dengan posisi Indonesia yang kini tengah mengejar capaian transisi energi. Hal ini akan semakin menjauhkan Indonesia dari komitmen-komitmen yang mendasari semangat serta target transisi energi.
Pada tingkat internasional, Indonesia menjadi salah satu negara yang berkomitmen dalam Perjanjian Paris. Bahkan pemerintah berkomitmen mewujudkan Net Zero Emission (NZE) lebih cepat atau lebih awal, yaitu pada 2060.
Pada tingkat kebijakan nasional, semangat transisi energi tertuang dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya