KOMPAS.com - Studi terbaru yang dilalukan Center of Economic and Law Studies (Celios) menemukan, banyak responden masih merasakan kesenjangan dalam pengelolaan sumber daya alam, agraria, dan energi di Indonesia.
Studi tersebut berjudul Gimmick Pro Lingkungan: Survei Kesenjangan Regulasi Pengelolaan Sumber Daya Alam, Agraria dan Energi dan dirilis pada 4 Juni.
Studi tersebut menggarisbawahi adanya kesenjangan yang tajam antara yang dicita-citakan oleh norma hukum di level regulasi dengan kenyataan yang terjadi di lapangan.
Baca juga: Anggota DPR Kritk Izin Tambang Ormas: Pemerintah Sembarangan Urus Sumber Daya
Peneliti Celios Muhammad Dzar Azhari Muthahhar mencontohkan, 58 persen responden dalam studi tersebut menyatakan, tata kelola pertambangan di Indonesia masih belum memerhatikan dampak lingkungan, baik sebelum ataupun pasca tambang.
"Hal ini bertolak belakang dengan kewajiban pemegang izin usaha tambang untuk melakukan kaidah pertambangan yang baik menurut Undang-Undang Mineral dan Batubara tahun 2009 maupun undang-undang perubahannya tahun 2020," kata Dzar dikutip dari siaran pers.
Peneliti Celios lainnya Muhamad Saleh menyampaikan, sektor energi menghadapi tantangan.
Pasalnya, proyek pembangkit listrik yang ada saat ini masih didominasi oleh energi fosil dan Undang-Undang Ketenagalistrikan 2009 belum implementatif.
"Tidak hanya itu, setidaknya 55 persen responden menilai pemerintah saat ini belum menyiapkan rencana transisi energi dari energi kotor ke energi bersih dengan baik," ucap Saleh.
Baca juga: Ciptakan Tata Kelola Air dan Sanitasi Butuh Investasi Sumber Daya Manusia
Di sektor pertanahan, kesenjangan antara regulasi dan kenyataan di lapangan terjadi karena minimnya keterbukaan informasi dan rendahnya integritas pejabat administrasi terkait.
Peneliti Celios lainnya Mhd Zakiul Fikri berujar, 62 persen responden petani menyatakan sulit memohon pendaftaran sertifikat hak milik ke kantor pertanahan secara mandiri.
Padahal, kata Fikri, pendaftaran tanah sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup petani yang diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 dan PP Nomor 18 Tahun 2021.
Fikri menambahkan, pemanfaatan ekstraksi serta hilirisasi sumber daya alam, transisi energi, hingga persoalan pertanahan sering menyebabkan berbagai konflik lingkungan terjadi.
"Kondisi ini bila dibiarkan terus berlanjut akan menjadi penghalang besar bagi pemerintah dalam memenuhi komitmen mewujudkan net zero emission hingga tahun 2060," jelasnya.
Baca juga: Pembangunan SDM Jadi Kunci Hilirisasi Sumber Daya Alam
Secara umum, studi yang dilakukan Celios tersebut memberikan rekomendasi untuk memastikan implementasi regulasi sumber daya alam, agraria, dan energi yang berkelanjutan bisa terlaksana dengan baik di Indonesia.
Pertama, evaluasi seluruh regulasi yang digunakan dalam studi regulasi hijau sektor sumber daya alam (pertambangan dan kehutanan), agraria (pertanahan), dan energi (ketenagalistrikan).
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya