KOMPAS.com - Sektor energi menjadi salah satu kontributor terbesar penghasil emisi karbon di Indonesia.
Menurut studi Essential Services Reform (IESR) dalam Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2024, emisi sektor industri pada 2022 mencapai lebih dari 400 juta ton setara karbon dioksida.
Analis energi IESR Muhammad Dhifan Nabighdazweda menuturkan, setidaknya tiga langkah untuk memangkas emisi di sektor industri.
Baca juga: Sekjen PBB Sebut Industri Energi Fosil Godfather Krisis Iklim
Pertama, menetapkan target penurunan emisi yang jelas dan spesifik untuk semua sektor industri.
Kedua, membangun regulasi sertifikasi untuk produk hijau dan teknologi baru seperti hidrogen dan teknologi penangkap serta penyimpanan karbon atau CCS/CCUS.
Ketiga, memperkuat kerja sama industri, pemerintah, dan akademisi untuk riset teknologi rendah karbon dan pengembangan sumber daya manusia.
Sedangkan untuk dekarbonisasi sektor industri, ada berbagai upaya yang perlu diterapkan yakni efisiensi sumber daya, efisiensi energi, elektrifikasi industri, menggunakan bahan bakar, bahan baku dan sumber energi rendah karbon, serta pemanfaatan CCS/CCUS.
"Sektor industri sangat beragam sehingga membutuhkan solusi yang bervariasi," kata Dhifan dikutip dari siaran pers yang diterima Kompas.com, Kamis (20/6/2024).
Baca juga: Sel Punca Dikembangkan Jadi Kosmetik, Lebih Minim Limbah Industri
Dia menambahkan, implementasi pilar dekarbonisasi perlu mempertimbangkan segi ekonomi dan teknis.
Selain itu, pemerintah dapat mendorong penggunaan energi terbarukan untuk industri seperti melalui pemasangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap.
Pemerintah juga dapat memberikan insentif bagi industri yang menerapkan teknologi rendah karbon serta mendukung penelitian dan pengembangan teknologi rendah karbon yang masih dalam tahap komersialisasi.
Manajer Program Transformasi Energi IESR Deon Arinaldo berujar, emisi sektor industri mayoritas berasal dari penggunaan energi yang menggunakan batu bara.
Berdasarkan kajian IETO 2024, pada 2022, konsumsi energi setidaknya berkontribusi terhadap lebih dari 60 persen emisi gas rumah kaca (GRK) industri.
Dia menyampaikan, dekarbonisasi industri dapat menjadi peluang bagi Indonesia untuk bergerak menuju keberlanjutan dan strategi untuk mencapai Indonesia Emas 2045 dan menjadi upaya memitigasi kenaikan suhu Bumi.
"Komitmen dekarbonisasi industri akan membuka peluang target pasar baru dan menaikkan daya saing produk, terutama melihat masa depan yang akan bergerak ke arah produk yang lebih berkelanjutan," ujar Deon.
Kepala Pusat Industri Hijau Kementerian Perindustrian Apit Pria Nugraha mengungkapkan, sektor industri memainkan peran krusial dalam ekonomi.
Akan tetapi, sektor industri juga menghasilkan emisi GRK yang signifikan. Untuk itu, Dia menekankan, kebijakan pengurangan emisi sektor industri perlu diimplementasikan secara konsisten, inklusif, dan kuat.
"Salah satu upaya pengurangan emisi sektor industri dengan penerapan nilai ekonomi karbon," tutur Apit.
Apit menambahkan, kementerian tengah melakukan berbagai persiapan untuk dekarbonisasi industri.
"Seperti merumuskan peta jalan perdagangan karbon untuk industri, Peraturan Menteri Industri (Permenperin) Perdagangan Karbon, batas atas perdagangan karbon, tata laksana perdagangan karbon, dan sistem informasi terintegrasi perdagangan karbon," jelas Apit.
Baca juga: Sejak Perjanjian Paris, Bank Masih Gelontorkan Rp 110 Kuadriliun ke Industri Energi Fosil
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya