JAKARTA, KOMPAS.com - Sekitar 70 persen penyumbang emisi karbon di Indonesia yang berasal dari industri, dipengaruhi oleh empat sektor.
President Energy Industries Asia ABB, Anders Maltesen mengatakan, empat sektor industri penyumbang mayoritas emisi di Tanah Air tersebut menggunakan bahan bakar fosil.
“Ada banyak bahan bakar fosil yang digunakan dalam industri yang menghasilkan CO2 (karbon dioksida), 70 persen CO2 yang dihasilkan berasal dari empat industri,” kata Anders dalam acara Diskusi Media Bersama ABB Energy Industries di Jakarta, Selasa (25/6/2024).
Keempat industri yang dimaksud, adalah industri besi dan baja, semen, kimia, dan petrokimia.
Baca juga: Energi Fosil Bikin Program Hilirisasi dan Bebas Emisi Tak Koheren
Indonesia juga disebut sebagai konsumen energi terbesar di Asia Tenggara, dengan kebutuhan energi yang terus meningkat.
Selain itu, Indonesia menduduki peringkat ke-8 sebagai kontributor emisi gas rumah kaca (GHG) global.
Untuk membantu mengurangi emisi karbon yang berasal dari industri-industri tersebut, Anders mengungkap ada beberapa solusi yang pihaknya tawarkan.
ABB berkomitmen mentransformasi sektor energi melalui portofolio lengkap solusi elektrifikasi, otomatisasi proses, dan digitalisasi.
“Jadi, keempat industri ini 70 persen. Sekarang, bisakah kita melakukan sesuatu? Ya, kita bisa dengan elektrifikasi. Saat kita mengkonversi pembakaran bahan bakar fosil, minyak, gas, dan batubara menggunakan tenaga listrik, maka pada dasarnya kita memproduksi tenaga dari sumber terbarukan,” terang dia.
Anders menjelaskan, elektrifikasi ampuh mengurangi konsumsi bahan bakar fosil di industri. Meskipun begitu, ia mengakui upaya ini tidak mudah untuk beberapa industri, seperti besi dan baja yang membutuhkan panas sangat tinggi.
Baca juga: Booming Belanja Daring Bikin Emisi Penerbangan Meroket 25 Persen
Dengan mengubah semua proses pembakaran menggunakan kekuatan elektrik, menurutnya, juga dapat membantu mengurangi kebutuhan bahan bakar minyak.
Selain elektrifikasi, ia menyebut solusi lainnya adalah memanfaatkan sumber gas yang lebih ramah lingkungan. Menurut Anders, Indonesia memiliki potensi besar dalam memproduksi gas alam cair atau Liquified Natural Gas (LNG).
Business Manager of Emerging Markets Division (the Philippines and Indonesia), Hub Asia Energy Industries Division, Process Automation, ABB, Gloria Eng menyebut solusi tersebut ditawarkan untuk mendukung pengembangan solusi energi baru dan terbarukan,
"Dengan teknologi terdepan, ABB fokus untuk memungkinkan operasi hemat energi dan rendah karbon di seluruh industri tradisional melalui digitalisasi dan otomatisasi," ujar Gloria.
Indonesia disebut berpotensi menjadi pusat energi berkelanjutan di kancah global. Hal ini dijelaskan melalui kapasitas sumber daya terbarukan yang sangat menjanjikan.
"Dengan kapasitas sumber daya terbarukan yang sangat menjanjikan, termasuk lebih dari 550 GW tenaga surya, 450 GW tenaga angin, 100 GW tenaga air, 10 GW tenaga panas bumi, dan 20 GW biomassa, memberikan peluang besar bagi Indonesia untuk mewujudkan sektor tenaga listrik bersih," papar Gloria.
Baca juga: Kejar Nol Emisi Karbon, ABB Dorong Kolaborasi dengan Industri
Indonesia juga memiliki cadangan gas terbesar kedua di Asia Pasifik dan potensi penyimpanan CO2 terbesar ketiga di wilayah tersebut untuk hidrogen biru, serta potensi panas bumi terbesar kedua di dunia untuk hidrogen hijau, dan lebih dari 200 GW potensi kapasitas tenaga surya.
Indonesia juga secara geografis dekat dengan negara-negara yang memiliki permintaan tinggi untuk hidrogen bersih, seperti Jepang, Korea Selatan, dan Singapura, yang bersama-sama mewakili pasar hidrogen sebesar 4 juta ton per tahun.
"Karena itu Indonesia memegang peranan penting dalam mewujudkan transisi energi yang efektif baik secara regional maupun global," ungkap Gloria.
Untuk memastikan transformasi yang sukses, Gloria menilai Indonesia terus berupaya mengurangi ketergantungan sektor tenaga listrik pada bahan bakar fosil, mengadopsi sumber energi yang lebih bersih dan berkelanjutan, sambil beralih ke sistem energi bebas karbon.
Dalam kerangka regulasi, pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan dan insentif fiskal untuk mendorong pertumbuhan hijau, dengan fokus pada mobilitas listrik, pasar karbon, dan energi terbarukan.
Selain itu, telah dibentuk Just Energy Transition Partnership (JETP), sebuah kemitraan global yang menyepakati mobilisasi pembiayaan publik dan swasta sebesar 20 miliar dolar AS untuk mendekarbonisasi sektor energi Indonesia sambil menjaga batas pemanasan global 1,5 °C tetap tercapai.
Di bawah JETP, Indonesia menetapkan target mengurangi emisi karbon menjadi 250 juta metrik ton per tahun untuk sektor tenaga listrik on-grid pada tahun 2030, sambil meningkatkan pangsa pembangkit listrik dari energi terbarukan menjadi 44 persen.
Jika dilakukan dengan benar, hasil yang menjanjikan dari kebijakan transisi energi tersebut, didukung oleh kepemimpinan politik dan transformasi budaya yang masif, akan memungkinkan kemajuan ini terjadi.
"Agar Indonesia mencapai target transisi energi dan nol emisinya, para pelaku industri energi harus berkolaborasi melalui kemitraan strategis antar negara, wilayah, dan industri hingga komunitas lokal untuk memastikan manfaat yang adil bagi semua," pungkas Gloria.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya