Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Keterwakilan Perempuan di Pemilu 2024 Belum Penuhi Kuota 30 persen

Kompas.com, 2 Juli 2024, 13:00 WIB
Faqihah Muharroroh Itsnaini,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

 JAKARTA, KOMPAS.com - Organisasi masyarakat sipil Kalyanamitra menilai adanya distorsi atau penyimpangan keterwakilan perempuan dalam Pemilu 2024, karena tidak memenuhi kuota 30 persen sesuai aturan undang-undang. 

Ketua Kalyanamitra Listyowati mengatakan, secara umum, persentase keterwakilan perempuan dalam Pemilu DPR Tahun 2024 meningkat menjadi 22,1 persen, dibandingkan pada tahun 2019 yang sebesar 20,5 persen. 

“Namun, pada Pemilu 2024, 17 partai dari 18 partai nasional tidak memenuhi syarat keterwakilan perempuan 30 persen pada setiap dapil berdasarkan UU 7 Tahun 2017,” ujar Listyowati atau Lilis, saat diskusi publik di Jakarta, Senin (1/7/2024).

Menurutnya, masih terdapat ketimpangan yang cukup tinggi antara perempuan dan laki-laki, sejak pemilu diadakan pada 2009 lalu. Dari total 580 anggota DPR RI tahun 2024, anggota perempuan saat ini hanya berjumlah 128 orang, atau sekitar 22,1 persen. 

Baca juga: Peragaan Kebaya Lintas Generasi Kowani: Kebaya Pemersatu Perempuan Indonesia

“Berdasarkan data Perludem, data keterwakilan perempuan di DPR dari 2009-2024 belum ada yang mencapai tahapan 30 persen di DPR RI,” imbuhnya.

Padahal, sejumlah aturan baik internasional maupun nasional secara jelas telah mengatur kuota 30 persen perempuan dalam politik, sekaligus memberikan penegasan partisipasi perempuan dan larangan diskriminasi gender

Seperti Pasal 245 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur bahwa daftar bakal calon memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.

Selain itu, negara juga menerapkan zipper system yang diatur dalam Pasal 246 ayat (2) bahwa di dalam daftar bakal calon, setiap tiga orang bakal calon terdapat paling sedikit satu orang perempuan bakal calon.

Kemudian, pasal 46 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, menyatakan bahwa sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan bidang eksekutif, yudikatif harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan. 

Distorsi dan tantangan perempuan pada Pemilu 2024

Wakil Ketua Komnas Perempuan RI Olivia Chadidjah Salampessy mengatakan, distorsi keterwakilan perempuan dalam politik ditunjukkan dalam banyak hal. Hal ini terkait dengan masih banyaknya kekerasan dan ketimpangan gender dalam politik. 

Baca juga: Perempuan dan Anak Jadi Kelompok Paling Terdampak Perubahan Iklim

"Dari pengajuan dan pemantauan Komnas Perempuan, masih terdapat penolakan dan hambatan sosial, budaya, dan politik, baik di tingkat partai politik, negara, maupun masyarakat, terhadap kepemimpinan perempuan," ujar Olivia. 

Hambatan tersebut di antaranya, intimidasi, pencurian suara, penyerangan seksual, pemecatan terhadap calon perempuan terpilih, hingga penolakan karena jenis kelamin perempuan. 

"Juga hadirnya aturan yang mereduksi kebijakan afirmasi dan tidak mendorong tata pemerintahan yang bebas dari kekerasan terhadap perempuan," tuturnya. 

Ketua Bawaslu Rahmat Bagja saat memberikan materi dalam Diskusi Publik bertema Evaluasi Pemilu Serentak 2024: Distorsi Keterwakilan Perempuan dan Meningkatnya Kekerasan Terhadap Perempuan oleh Penyelenggara Pemilu, di Jakarta, Senin (1/7/2024).KOMPAS.com/FAQIHAH MUHARROROH ITSNAINI Ketua Bawaslu Rahmat Bagja saat memberikan materi dalam Diskusi Publik bertema Evaluasi Pemilu Serentak 2024: Distorsi Keterwakilan Perempuan dan Meningkatnya Kekerasan Terhadap Perempuan oleh Penyelenggara Pemilu, di Jakarta, Senin (1/7/2024).
Terdapat beberapa bentuk distorsi keterwakilan perempuan dalam politik yang diterima oleh pihaknya selama beberapa tahun terakhir. 

Mulai dari kuota aturan afirmasi 30 persen yang tidak dipenuhi oleh partai politik di beberapa daerah, serta nomor urut calon perempuan sengaja dibuat tidak menguntungkan sehingga berpeluang kecil untuk terpilih. 

Kemudian, kurangnya dukungan dari partai politik kepada calon perempuan, termasuk dalam hal finansial. Padahal, berdasarkan sejarah, tak bisa dipungkiri bahwa perempuan memiliki titik awal yang berbeda dengan laki-laki dalam hal politik. 

Baca juga: Komnas Perempuan Desak RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga Segera Disahkan

Sementara itu, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja mengatakan salah satu tantangan adalah karena kurangnya keinginan perempuan terlibat dalam partai politik. 

Salah satunya disebabkan adanya stereotip terhadap perempuan yang menyebabkan perempuan dianggap tidak pantas menduduki jabatan politik. 

Ini berakibat tumbuhnya marjinalisasi dalam politik, yang menghasilkan peminggiran perempuan dalam proses politik dan pengambilan keputusan.

Selain itu, perempuan seringkali ditempatkan pada posisi tidak strategis dalam posisi, proses politik, jabatan politik dan pengambilan keputusan. 

"Perempuan dianggap tidak pantas menduduki jabatan politik, padahal itu tidak benar. Sudah tidak zamannya lagi," ujar Rahmat. 

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Tren Global Rendah Emisi, Indonesia Bisa Kalah Saing Jika Tak Segera Pensiunkan PLTU
Tren Global Rendah Emisi, Indonesia Bisa Kalah Saing Jika Tak Segera Pensiunkan PLTU
LSM/Figur
JSI Hadirkan Ruang Publik Hijau untuk Kampanye Anti Kekerasan Berbasis Gender
JSI Hadirkan Ruang Publik Hijau untuk Kampanye Anti Kekerasan Berbasis Gender
Swasta
Dampak Panas Ekstrem di Tempat Kerja, Tak Hanya Bikin Produktivitas Turun
Dampak Panas Ekstrem di Tempat Kerja, Tak Hanya Bikin Produktivitas Turun
Pemerintah
BMW Tetapkan Target Iklim Baru untuk 2035
BMW Tetapkan Target Iklim Baru untuk 2035
Pemerintah
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
LSM/Figur
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Pemerintah
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Pemerintah
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Pemerintah
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Pemerintah
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
BUMN
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Pemerintah
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
LSM/Figur
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Pemerintah
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Pemerintah
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau