KOMPAS.com - Sejumlah organisasi mayarakat sipil menilai, Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) masih sarat kepentingan yang mendorong energi padat karbon dan berisiko tinggi.
Energi padat karbon yang dimaksud seperti gas, nuklir, hidrogen, dan batu bara. RUU EBET juga disebut menargetkan pemanfaatan energi berbasis lahan dalam skala besar, khususnya biomassa.
Organisasi yang terdiri atas Koaksi Indonesia, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Yayasan Indonesia Cerah, Greenpeace Indonesia, Indonesian Parliamentary Center, WWF Indonesia, dan 350.org Indonesia menyebutkan, seharusnya RUU EBET benar-benar fokus pada akselerasi dan meningkatkan daya saing energi terbarukan.
Baca juga: Membumikan Efisiensi Energi Sejak Dini
Selain itu, draf Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kebijakan Energi Nasional (KEN) juga dinilai tidak ambisius untuk meningkatkan bauran energi terbarukan.
Dalam RPP KEN, target bauran energi terbarukan diturunkan dari semula 23 persen pada 2025 menjadi sekitar 19 sampai 22 persen pada 2030.
Verena Puspawardani dari Koaksi Indonesia mengatakan, seharusnya target bauran energi terbarukan dalam RPP KEN perlu merefleksikan urgensi dan komitmen untuk bertransisi dari energi fosil ke energi terbarukan.
"Apalagi rekomendasi global stocktake menegaskan percepatan pengembangan energi terbarukan hingga tiga kali lipat jika kita ingin selamat dari bencana iklim," kata Verena dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Senin (1/7/2024).
Baca juga: Bahan Bakar Fosil Sumbang 82 Persen Bauran Energi Global
Pengkampanye Energi Terbarukan Greenpeace Indonesia Hadi Priyanto mengatakan, energi baru seperti hidrogen dan nuklir sudah seharusnya dikeluarkan dari RUU EBET maupun RPP KEN.
Dia juga mempermasalahkan soal masih diperbolehkannya pengembangan energi fosil selama menerapkan teknologi penangkap karbon atau CCS dalam RUU EBET maupun RPP KEN.
"Selain itu, penambahan porsi gas fosil sebagai bahan bakar transisi dalam RPP KEN justru menghambat transisi energi yang sebenarnya," tutur Hadi.
Dia menyampaikan, pemberian ruang bagi penggunaan energi fosil akan menyebabkan Indonesia terkunci dengan teknologi tersebut dan makin mempersempit ruang bagi energi terbarukan untuk berkembang.
Baca juga: Energi Fosil Bikin Program Hilirisasi dan Bebas Emisi Tak Koheren
Plt Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan dan Keadilan Iklim ICEL Syaharani berujar, Indonesia masih memiliki beberapa target energi terbarukan yang berbeda-beda.
Contohnya dalam dokumen KEN, Nationally Determined Contributions (NDC), Long Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR), dan Just Energy Transition Partnership (JETP).
Kondisi tersebut menyebabkan tumpang tindih dalam implementasinya.
"Selain itu, infrastruktur regulasi dan kebijakan sektor energi belum memberikan ruang dan insentif yang cukup bagi kemudahan pengembangan energi terbarukan," tutur Syaharani.
Syaharani menegaskan, prioritas energi terbarukan dalam RUU EBET dan RPP KEN akan menjadi sinyal kuat untuk mendorong penyelarasan regulasi, kebijakan, dan perencanaan sektor energi guna memfasilitasi transisi ke energi terbarukan yang berkeadilan.
Baca juga: Menyempitnya Ruang Demokrasi dan Potensi Korupsi dalam Kebijakan Transisi Energi
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya