Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Potret Rakusnya Oligarki dalam Serial Dokumenter "Kutukan Nikel"

Kompas.com - 16/07/2024, 20:48 WIB
Faqihah Muharroroh Itsnaini,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Nikel kini menjadi primadona komoditas dunia. Indonesia tak mau ketinggalan, ikut tren ini dengan gimmick elektrifikasi kendaraan yang digadang-gadang menjadi target besar pembangunan.

Namun, meski dengan alibi ‘pembangunan dan pertumbuhan ekonomi hijau berkelanjutan’, sejumlah aktivis menilai kekayaan nikel di Indonesia berubah menjadi 'kutukan’. 

Menurut Greenpeace Indonesia, nikel menjadi primadona hanya khusus bagi oligarki dan para penguasa, tapi tidak bagi masyarakat adat atau daerah kecil yang sumber dayanya dikeruk. 

"Ada orang yang bahkan tidak bisa hidup dan mempertahankan hidupnya karena ruang hidupnya tidak ada lagi. Mereka tidak bisa makan singkong, mereka tidak bisa makan padi, dan sebagainya," ujar Forest Campaigner Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, saat sesi diskusi film "Kutukan Nikel" di Jakarta, Senin (16/7/2024). 

Baca juga: Hilirisasi Nikel Berdampak Serius terhadap Masyarakat Maluku Utara

Ia menjelaskan, di wilayah Indonesia Timur, lebih dari 300 izin usaha pertambangan dengan luasan 3,95 juta hektare atau lebih dari hampir 60 kali luas Jakarta, telah diberikan. 

"Dia (pertambangan) juga tidak hanya merusak wilayah hutan yang terbuka itu, tapi juga merusak wilayah pesisir pantai atau bahkan wilayah coastal," imbuh Iqbal. 

Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 2011, 28 pulau kecil di Indonesia telah tenggelam, dan 24 pulau kecil terancam hilang. 

"Yang kita sesalkan sebenarnya adalah ini peristiwa yang sudah terjadi bertahun-tahun. Maka kutukan sumber daya alam itu disebut juga Dutch Disease atau perilaku Belanda, itu bahasa ilmiah ya, bukan rasis, tapi ilmuwan menyebutnya Dutch Disease, kemarukan mengkeruk sumber daya alam secara berlebih," papar Iqbal. 

Potret ketimpangan dan ketidakadilan

Dalam episode kedua "Kutukan Nikel" yang merupakan lanjutan film docu-series The Bloody Nickel episode pertama pada Februari 2024, tergambar jelas perlawanan masyarakat adat terutama di daerah timur Indonesia. 

Salah satunya, perjuangan para masyarakat adat Togutil Habeba di Halmahera, Maluku Utara, yang memasang spanduk menentang kehadiran PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). 

Baca juga: Emisi Karbon Baterai Nikel Lebih Tinggi daripada LFP

Ada juga potret ledakan tungku smelter milik PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS) di kawasan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Sulawesi Tengah, yang mengakibatkan puluhan pekerja meninggal. 

"Lihat dari film tadi, yang diuntungkan bukan masyarakat yang memiliki lahan, yang diuntungkan itu korporasi sama penguasa. Kita lihat saja bagaimana masyarakat berjuang, mempertahankan lahanan mereka. Jadi (kalau) dibilang keuntungan untuk mereka itu tidaklah, itu jauh dari yang dicita-citakan oleh negara ini," terang Iqbal. 

Sementara itu, Juru Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional Hema Situmorang mengatakan, ketimpangan dalam industri nikel memang benar adanya. 

Hema menuturkan, masyarakat sering diilusi dengan transisi ke energi yang lebih ramah lingkungan, dan seolah mendapat solusi berbagai permasalahan polusi udara hingga iklim, dengan beralih ke kendaraan listrik. 

"Dengan beralih ke kendaraan listrik dan sebagainya, (tapi) sekali lagi saya mengajak kawan-kawan harus melihat seluruh rantai prosesnya. Karena yang diuntungkan lagi-lagi para korporasinya," ujar Hema. 

Baca juga: 6 Pulau Kecil di Maluku Utara Jadi Konsesi Tambang Nikel

Pasalnya, banyaknya masyarakat adat atau kampung kecil di wilayah timur Indonesia yang merana karena hilangnya tempat hidup mereka, cukup menjadi bukti. Bahwasanya, keuntungan nikel hanya bagi sebagian kelompok kecil saja. 

"Kemudian siapa yang paling dirugikan? Kalau kita bicara tentang pulau kecil yang terancam, tenggelam dan sebagainya tadi, tentu saja banyak kontroversi sebagai nelayan dan petani karena berada di wilayah pesisir," tutur Hema. 

Tak hanya itu, kecelakaan kerja yang terjadi pada smelter-smelter yang meledak, pelecehan dan kekerasan, dan tingkat deforestasi yang tinggi juga menjadi bukti tak terbantahkan. 

"Di kampung, kalau sungainya terdampak, lautnya terdampak, tanahnya terdampak, itu adalah wilayah domestik dari para perempuan yang ada di kampung," jelas Hema. 

"Jadi ketika itu semuanya terdampak, pasti urusan segala macam yang ada di rumah itu juga terdampak. Itu rentetannya bisa panjang lagi, KDRT dalam rumah semakin tinggi," sambungnya. 

Baca juga: Dorong Hilirisasi, PLN Tambah Daya Listrik Industri Nikel di Kaltim

Adapun peneliti senior dari Sajogyo Institute Eko Cahyono berpendapat,  penelitian yang dilakukannya di beberapa desa di Halmahera Tengah dan Kalimantan Timur menunjukkan adanya penggusuran tanpa ganti rugi. 

"Ada yang berani melawan kepala desanya, terus bilang, 'Saya harus (dapat) ganti rugi'. Ganti berapa? Paling tinggi untuk yang punya SHM, Rp 20.000 per meter. Kalau yang nggak punya SHM, itu paling banter Rp 3.000 per meter," papar Eko. 

Dengan deretan dokumentasi yang ditampilkan dalam "Kutukan Nikel", Iqbal berharap agar film serial dokumenter ini bisa mengetuk kesadaran masyarakat terhadap realita yang terjadi. 

"Salah satu tujuan film ini, untuk kita bisa tahu bahwa ada yang enggak baik-baik aja dari semua ini. Film ini harapannya bisa tersebar dalam berbagai dimensi untuk semua orang," pungkasnya. 

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Jelang 100 Hari Prabowo-Gibran, Janji Transisi Energi Didesak Diwujudkan

Jelang 100 Hari Prabowo-Gibran, Janji Transisi Energi Didesak Diwujudkan

LSM/Figur
Hilirisasi Nikel Belum Sediakan Green Jobs Sesuai Potensinya

Hilirisasi Nikel Belum Sediakan Green Jobs Sesuai Potensinya

Pemerintah
BRI RO Lampung Salurkan Bantuan kepada Korban Terdampak Banjir

BRI RO Lampung Salurkan Bantuan kepada Korban Terdampak Banjir

BUMN
Pengiriman Kendang Jimbe Blitar ke China Tandai Ekspor Perdana UKM Jatim di Tahun 2025

Pengiriman Kendang Jimbe Blitar ke China Tandai Ekspor Perdana UKM Jatim di Tahun 2025

Swasta
Inggris Siapkan Dana Rp 359 Miliar untuk Konservasi Laut Indonesia

Inggris Siapkan Dana Rp 359 Miliar untuk Konservasi Laut Indonesia

Pemerintah
Dua Pertiga Bisnis Dunia Tingkatkan Anggaran Keberlanjutan pada 2025

Dua Pertiga Bisnis Dunia Tingkatkan Anggaran Keberlanjutan pada 2025

Swasta
'Bahan Kimia Abadi' PFAS Mengancam Kita, Eropa Berencana Melarangnya

"Bahan Kimia Abadi" PFAS Mengancam Kita, Eropa Berencana Melarangnya

Pemerintah
Mahasiswa Desa Lingkar Tambang Raih Beasiswa MHU: Menuju Masa Depan Cerah dan Berkelanjutan

Mahasiswa Desa Lingkar Tambang Raih Beasiswa MHU: Menuju Masa Depan Cerah dan Berkelanjutan

Swasta
Trump Tarik AS dari Perjanjian Paris, Perlawanan Perubahan Iklim Hadapi Pukulan Besar

Trump Tarik AS dari Perjanjian Paris, Perlawanan Perubahan Iklim Hadapi Pukulan Besar

Pemerintah
Menilik Inovasi Dekarbonasi Generasi Muda di Toyota Eco Youth Ke-13

Menilik Inovasi Dekarbonasi Generasi Muda di Toyota Eco Youth Ke-13

BrandzView
China Luncurkan Kereta Komuter Serat Karbon, Kecepatannya 140 Km/Jam

China Luncurkan Kereta Komuter Serat Karbon, Kecepatannya 140 Km/Jam

Pemerintah
Kembangkan Rumput Laut, Start Up Banyu Raih pendanaan dari Intudo Ventures

Kembangkan Rumput Laut, Start Up Banyu Raih pendanaan dari Intudo Ventures

Swasta
100 Hari Prabowo-Gibran, Ini Pejabat Energi dan Lingkungan dengan Skor Tertinggi hingga Terendah

100 Hari Prabowo-Gibran, Ini Pejabat Energi dan Lingkungan dengan Skor Tertinggi hingga Terendah

LSM/Figur
Menag Dorong Integrasi Isu Lingkungan dengan Pendidikan Agama

Menag Dorong Integrasi Isu Lingkungan dengan Pendidikan Agama

Pemerintah
Pengamat Ekonomi Energi Desak Perguruan Tinggi Tolak Konsesi Tambang

Pengamat Ekonomi Energi Desak Perguruan Tinggi Tolak Konsesi Tambang

LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau