KOMPAS.com - Undang-undang tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE) yang disahkan DPR pada 9 Juli dinilai masih belum menyentuh jenis ekosistem di Indonesia.
Juru Kampanye Forest Watch Indonesia (FWI) Anggi Putra Prayoga mengatakan, UU tersebut sama sekali tidak membahas, mengatur, dan bahkan menyebutkan jenis-jenis ekosistem yang ada di Indonesia.
Dia mencontohkan, ekosistem mangrove, ekosistem gambut, dan ekosistem karst sama sekali tidak disebutkan dalam UU KSDAHE, apalagi diatur.
Baca juga: Greenpeace: UU Konservasi Malah Pisahkan Peran Masyarakat Adat
Anggi menuturkan, pengaturan penting untuk menjawab tantangan pembangunan yang terus menggerus ekosistem tersebut.
Publik, kata Anggi, membutuhkan UU berkualitas yang mampu menjawab permasalahan lingkungan dan krisis iklim ke depan.
Menurut data FWI, 90 persen kerusakan sumber daya alam berupa hutan dan ekosistem penting lainnya terjadi di luar kawasan konservasi.
"Publik menantikan lahirnya kebijakan yang bisa melindungi sumber daya alam dari modus-modus eksploitasi untuk menjamin hak kualitas lingkungan yang lebih baik," kata Anggi dikutip dari siaran pers bersama organisasi masyarakat sipil, Sabtu (13/7/2024).
Baca juga: DPR Sahkan Revisi UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem
Sementara itu, Koordinator Hukum dan Advokasi Garda Animalia Muhamad Satria Putra menyampaikan, UU KSDAHE masih memiliki kelemahan yang sama dibandingkan aturan sebelumnya, yakni masih berlakunya frasa dilindungi dan tidak dilindungi.
Dia menyampaikan, frasa tersebut mengancam keberlangsungan jenis tumbuhan maupun satwa liar yang tidak dilindungi di alam liar.
"Karena tidak dilindungi, maka perburuan hingga perdagangan tumbuhan dan satwa liar tersebut akan tetap marak sehingga dapat merusak populasinya di alam liar," ujat Satria.
Merujuk pada daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU KSDAHE, alasan tetap dipertahankannya frasa dilindungi dan tidak dilindungi didasari oleh kondisi populasi dari alam, aspek perlindungan, dan penerapannya lebih sederhana dan dapat diimplementasikan.
"Masalahnya kita tak memiliki data pasti terkait populasi tumbuhan maupun satwa liar di Indonesia," tutur Satria.
Baca juga: Penyusunan RUU KSDAHE Dinilai Tak Libatkan Organisasi Masyarakat Sipil
Bahkan, lanjutnya, ada satwa liar di Indonesia yang masuk ke dalam jenis tidak dilindungi namun International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkannya ke dalam daftar merah terancam punah.
Satria menerangkan, implikasi terhadap frasa dilindungi dan tidak dilindungi berpengaruh pada penegakkan hukum.
Dia menilai, selama ini penegakkan hukum kejahatan terhadap satwa liar masih rendah sehingga tidak menimbulkan efek jera.
"Hal tersebut disebabkan, dalam memutuskan perkara, majelis hakim hanya mengacu pada unsur satwa tersebut termasuk satwa liar dilindungi. Padahal tidak semua satwa liar memiliki nilai valuasi yang sama," terang Satria.
Dia menekankan, seharusnya UU KSDAHE mampu mengakomodasi pembagian perlindungan satwa berdasarkan tingkat keterancaman punah, tingkat kesulitan merehabilitasi, dan aspek lainnya.
Baca juga: Revisi UU Konservasi Sumber Daya Alam Hampir Final, 21 Pasal Diperbarui
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya