Kegiatan pembangunan di luar kehutanan adalah kegiatan untuk tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan, antara lain kegiatan pertambangan, pembuatan jalan, pembangunan jaringan listrik, telepon, dan instalasi air, kepentingan religi, serta kepentingan pertahanan keamanan.
Mekanisme yang ditempuh dalam kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan produksi maupun hutan lindung adalah melalui izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) yang diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Dalam peraturan pemerintah (PP) No 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan, IPPKH juga disebut dengan izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan produksi dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yakni penambangan dengan pola pertambangan terbuka; dan/atau penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah.
Sementara dalam kawasan hutan lindung hanya dapat dilakukan penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah dengan ketentuan dilarang mengakibatkan: a) turunnya permukaan tanah; b) berubahnya fungsi pokok kawasan hutan secara permanen; dan/atau ; c) terjadinya kerusakan akuifer air tanah.
Persetujuan penggunaan kawasan hutan diberikan oleh Menteri LHK berdasarkan permohonan. Menteri dapat melimpahkan wewenang pemberian persetujuan penggunaan kawasan hutan dengan luasan tertentu kepada gubernur untuk pertambangan rakyat.
Pemegang izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan dibebani kewajiban finansial untuk membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk PNBP penggunaan kawasan hutan dan PNBP kompensasi untuk pemegang persetujuan penggunaan kawasan hutan pada provinsi yang kurang kecukupan luas kawasan hutannya.
Pemegang persetujuan penggunaan kawasan hutan dilarang menggunakan merkuri bagi kegiatan pertambangan.
Dalam peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) no. P.27/2018 tentang izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH), penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan yang berdampak penting dan cakupan luas serta bernilai strategis, IPPKH hanya dapat diberikan setelah mendapat persetujuan dari DPR.
Kriteria penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis adalah pertambangan yang berada di dalam Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WUPK) yang berasal dari Wilayah Pencadangan Negara (WPN) yang telah disetujui oleh DPR RI.
Kuota IPPKH untuk kegiatan pertambangan mineral dan batu bara pada kawasan hutan produksi, yaitu 10 persen dari luas efektif setiap izin pemanfaatan hutan, pada kawasan hutan yang telah dibebani izin pemanfaatan hutan.
Kuota 10 persen luas kawasan hutan produksi kabupaten/kota pada areal Kesatuan Pengelolaan Hutan yang tidak dibebani Izin pemanfaatan hutan.
Kuota 10 persen luas kawasan hutan produksi kabupaten/kota di luar areal kesatuan pengelolaan hutan yang tidak dibebani izin pemanfaatan hutan.
Kuota IPPKH untuk kegiatan pertambangan mineral dan batu bara pada pulau yang termasuk pulau kecil dapat dipertimbangkan adalah seluas 10 persen dari luas kawasan hutan produksi dan hutan lindung di pulau yang bersangkutan.
Dalam hal permohonan penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan mineral dan batu bara berada pada Kawasan Hutan Lindung, kuota IPPKH yang dapat dipertimbangkan adalah 10 persen dari luas kelompok hutan lindung yang bersangkutan.
Bilamana pemegang persetujuan penggunaan kawasan hutan /IPPKH untuk kegiatan pertambangan telah melaksanakan dan memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh PP no. 23/2021, maka tanggung jawab operasional (eksplorasi dan eksplotasi) dalam hal pembinaannya telah berpindah tangan menjadi tanggung jawab Kementerian ESDM, termasuk kewajiban PNBP dan pajak-pajak yang terkait dengan hasil pertambangan yang ada di dalamnya sampai dengan jangka waktu persetujuan penggunaan kawasan hutan /IPPKH berakhir.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya