Pasal 32 UU No 5/1990 dalam penjelasannya, yang dimaksud dengan zona inti adalah bagian kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apa pun oleh aktivitas manusia.
Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional.
Harus diakui bahwa terdapat beberapa kelemahan dalam pengelolaan TN. Pertama, luas TN yang dijaga dan diawasi tidak sebanding dengan jumlah petugas.
Rata-rata luas TN di atas 100.000 ha, bahkan ada TN yang mempunyai luas di atas 1000.000 ha. Sementara itu, petugas jagawana hanya berkisar 100 -125 orang setiap TN.
Idealnya satu orang petugas jagawana secara efektif menjaga dan mengawasi 200 – 250 ha. Oleh karena itu, TN dengan luas 100.000 ha membutuhkan petugas jagawana minimal 500 orang.
Kedua, batasan antara zona inti, zona pemanfaatan dan zona lainnya di lapangan belum jelas dan nyata. Pembuatan tata batas antarzona membutuhkan waktu yang lama dan biaya cukup besar.
Pelibatan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dan masyarakat setempat dalam menjaga, mengamankan dan mengawasi TN wajib dilakukan untuk menghilangkan kesan bahwa Balai Besar/Balai TN bekerja sendiri.
Sebagai kompensasinya, masyarakat diberi kesempatan luas untuk mengelola zona pemanfaatan untuk kegiatan pariwisata dan rekreasi sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No 5/1990 pasal 34 ayat (3).
TN sebagai bagian dari kawasan konservasi adalah aset nasional yang harus dipertahankan sampai kapanpun.
Jadi sangat wajar apabila warga Pulau Komodo menentang rencana Balai Taman Nasional Komodo (BTNK) menutup kawasan taman nasional untuk aktivitas wisata pada 2025 mendatang.
Warga Pulau Komodo terancam kehilangan sumber penghasilan jika kawasan TNK ditutup untuk aktivitas wisata. Sebab, sebagian besar warga di sana bekerja di sektor pariwisata seperti menjadi guide hingga menjual suvenir.
Memang besar dampaknya. Masyarakat sebagian besar mata pencaharian di wisata untuk dapat menjamin kebutuhan sehari-hari.
Rencana penutupan Pulau Komodo sebagai tujuan wisata pada 2025, juga tidak sejalan dengan misi pemerintah menetapkan destinasi wisata super prioritas (DPSP) yang dicanangkan Presiden Jokowi dan telah diperkenalkan kepada kepala negara/kepala pemerintahan negara Asean pada KTT Asean di Labuan Bajo tahun lalu.
Kalau toh untuk alasan pemulihan, mestinya hanya zona inti saja yang perlu mendapat prioritas untuk pemulihannya.
Zona selebihnya tetap dapat difungsikan sebagaimana mestinya, tentu dengan pengawasan dan penjagaan yang lebih ketat tanpa menghilangkan nilai wisatanya.
Kalaupun masih mengkhawatirkan dari aspek tekanan ekologis, jumlah pengunjung dapat dibatasi dengan pengurangan hingga 50 persen per hari.
Masih banyak cara lain yang lebih bijaksana daripada menutup total kawasan Pulau Komodo. Sesungguhnya, masyarakat yang terlibat dalam sektor pariwisata di Pulau Komodo secara langsung maupun tidak langsung juga ikut terlibat dan membantu mengawasi kelestarian Pulau Komodo dan satwa Komodo yang menjadi ikon dari Manggarai Barat dan NTT.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya