KOMPAS.com - Dua individu Orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) dilepasliarkan di Sungai Jepala Lala, Sub DAS Mendalam, di wilayah kerja Resort Nanga Hovat, Balai Besar Taman Nasional Betung Kerihun Danau Sentarum (BBTNBKDS), Kalimantan Barat, pada Minggu (28/7/2024).
Pelepasliaran ini merupakan tahapan ke-14 kalinya yang dilaksanakan sejak 2017. Setelah sebelumnya terdapat 30 individu orangutan dilepasliarkan di kawasan Sub Das Mendalam Taman Nasional Betung Kerihun Danau Sentarum.
Penentuan lokasi pelepasliaran setelah melalui kajian habitat, ditinjau dari kesesuaian dengan preferensi habitat orangutan, baik dari segi pakan, ruang, sumber air, tutupan hutan, serta jauh dari lokasi pemukiman masyarakat.
Baca juga:
Kepala BKSDA Kalimantan Barat, RM. Wiwied Widodo, menyampaikan proses menuju pelepasliaran orangutan sangatlah panjang dan mahal.
Namun, pihaknya telah memastikan semua prosedur dari awal sampai pada saat pelepasliaran, baik terkait administrasi maupun terkait satwa sudah siap dan memenuhi persyaratan.
“Apresiasi yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah bekerja keras dalam membantu upaya pelepasliaran kedua orangutan ini mulai dari penyelamatan, rehabilitasi, sampai dengan pelepasliaran sehingga berjalan dengan lancar dan sesuai prosedur,” ujar Wiwied, dalam pernyataannya, Jumat (2/8/2024).
Dua individu orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) yang dilepasliarkan ini merupakan satwa hasil penyelamatan Balai KSDA Kalbar dari masyarakat.
Satu individu orangutan berjenis kelamin betina dievakuasi dari masyarakat Kabupaten Mempawah pada 2020.
Sedangkan satu individu orangutan lainnya yang berjenis kelamin jantan berasal dari Kabupaten Melawi. Saat ini, kedua orangutan berusia 8 tahun.
Dalam rangka pemulihan kondisi dan sifat liarnya, kedua orangutan telah menjalani proses rehabiltasi di Sekolah Hutan Tembak oleh Yayasan Penyelamatan Orangutan Sintang (YPOS).
Kedua individu orangutan ini telah menjalani rehabiltasi selama tiga sampai empat tahun. Selama dua tahun terahir, mereka menjalani proses pengenalan alam Sekolah Hutan Tembak di Jerora.
Keduanya telah memiliki kemampuan lokomosi yang baik, mengenali berbagai jenis pakan, memiliki keterampilan membuat sarang, dan merenovasi sarang lama.
Baca juga:
Pelepasliaran orangutan kali ini memang lebih spesial dari kegiatan-kegiatan pelepasliaran orangutan sebelumnya.
Dari 13 kali kegiatan pelepasliaran yang telah dilakukan oleh BKSDA Kalbar bersama BBTNBKDS dan YPOS, baru kali ini melibatkan banyak pihak dan elemen masyarakat.
Acara pelepasliaran ini dihadiri oleh para Stakeholder Lingkup Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas Hulu, Pengadilan Negeri, Tokoh Adat dan Perangkat Desa, Masyarakat Peduli Konservasi, Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Datah Dian, Kader konservasi, serta masyarakat di sekitar kawasan Taman Nasional Betung Kerihun.
Kepala BBTNBKDS, Sadtata Noor Adirahmanta mengatakan pentingnya keterlibatan stakeholder dan masyarakat dalam pelepasliaran orangutan.
“Selama ini kita lupa dan asyik sendiri dalam mengurusi konservasi. Pelibatan stakeholder dan elemen masyarakat dalam pelepasliaran orangutan kali ini bertujuan untuk membangkitkan dan menanamkan nilai-nilai konservasi serta menimbulkan rasa kepedulian masyarakat menjadi bagian dalam upaya pelestarian alam,” ujarnya.
Konsep Konservasi Inklusif, kata dia, diharapkan dapat menggerakkan masyarakat untuk ikut berperan dalam menjaga alam serta kelestarian satwa liar termasuk orangutan.
Lebih lanjut, kata dia, para pihak terkait serta masyarakat perlu diberikan kesempatan dalam kegiatan pelepasliaran seperti ini.
Baca juga: DPR Sahkan Revisi UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem
Dengan demikian, di bawah alam sadar, mereka akan menerima hal baik ini sebagai tugas dan tanggung jawab untuk terus berperan dalam menjaga alam.
“Menjaga alam, menjaga ekosistem, menjaga satwa (orangutan) bukan hanya tugas pemerintah atau mitra konservasi tetapi merupakan tugas bersama,” imbuh Sadtata.
Pasca pelepasliaran, kedua individu orangutan berada dalam pemantauan untuk memastikan orangutan yang dilepasliarkan bisa beradaptasi dan bertahan hidup di alam liar.
Pemantauan dengan metode nest to nest dengan mengikuti orangutan, mulai dari bangun di pagi hari hingga tidur di sore hari selama tiga bulan.
“Kolaborasi dengan masyarakat lokal dan pihak terkait adalah kunci keberhasilan dalam upaya konservasi Orangutan,” ujarnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya