Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indonesia Harus Perkuat Rantai Pasok Industri Surya Lokal

Kompas.com, 15 Agustus 2024, 13:30 WIB
Faqihah Muharroroh Itsnaini,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kontribusi energi surya di dunia semakin meningkat, yakni mencapai hingga 1,6 terawatt (TW) pada 2023. Adapun di kawasan Asia Tenggara, total kapasitas energi surya mencapai 25,9 gigawatt (GW) di tahun yang sama.

Terkait hal itu, Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang Indonesia perlu memperkuat rantai pasok industri Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sehingga dapat bersaing dalam teknologi modul surya, mendorong adopsi PLTS, dan menciptakan lapangan kerja yang berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.

Analis Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan IESR, Alvin Putra Sisdwinugraha menjelaskan, Indonesia mempunyai potensi energi surya lebih dari 3.295 GW.

Baca juga: Lebih Hemat Energi, 55 Lampu Tenaga Surya Hadir di Wilayah Sumenep

Teknologi modul surya juga semakin berkembang dengan dominasi teknologi berbasis silikon, di mana teknologi monokristalin menawarkan efisiensi yang lebih tinggi.

Tidak hanya itu, harga modul surya turun hingga 66 persen selama lima tahun terakhir, menjadi sekitar 14,5 USDc/Wp (sekitar Rp 2.300/Wp).

“Indonesia perlu menangkap peluang pengembangan rantai pasok industri PLTS di Indonesia agar mampu bersaing dengan produk PLTS impor,” ujar Alvin saat media luncheon di Jakarta, Selasa (13/8/2024). 

Selain itu, kata dia, ekspansi Tiongkok untuk produksi modul surya Tiongkok ke Asia Tenggara, untuk ekspor ke Amerika Serikat dan Eropa perlu dipandang sebagai kesempatan untuk bekerja sama dalam membangun produksi modul surya dalam negeri. 

Modul surya lokal masih mahal

Berdasarkan analisis IESR, meskipun kapasitas produksi modul surya Indonesia terbilang meningkat, mencapai 2,3 GW/tahun per Juni 2024, namun secara ukuran, efisiensi, harga dan kategori panel tier-1, Indonesia masih tertinggal dari modul surya impor.

Baca juga: Pemerintah Genjot Penambahan Kapasitas PLTS Terapung 14 GW

Modul surya dalam negeri bahkan belum ada yang mendapatkan sertifikasi tier-1, sehingga sulit mendapatkan pembiayaan dari lembaga keuangan internasional.

"Harga PLTS lokal 30-45 persen lebih tinggi dibandingkan PLTS impor," ujar Alvin. 

Oleh karena itu, IESR mendorong pemerintah untuk meningkatkan daya saing PLTS lokal dengan memberikan insentif fiskal maupun non-fiskal untuk mengurangi biaya produksi, terutama apabila berorientasi ekspor. Lalu, melakukan kerjasama dengan produsen global untuk transfer teknologi, serta memberikan kepastian regulasi dan pasar domestik.

Selain itu, pemerintah diharapkan mengatasi hambatan permintaan dalam negeri yang rendah, salah satunya dengan pengadaan tender yang berkala.

Sementara, Perekayasa Ahli Utama, Pusat Riset Konversi dan Konservasi Energi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Arya Rezavidi menyampaikan, keberadaan rantai pasok PLTS yang kuat akan meningkatkan nilai tambah mineral penting untuk pembuatan modul surya.

Misalnya, nilai tambah ekonomi industri rantai pasok sel surya kristal silikon secara optimal dapat menjadi 637,5 kali lipat dibandingkan dengan biaya awal.

Baca juga: Target 3 Kali Lipat Energi Terbarukan Kian Cerah, PLTS dan PLTB Melonjak

“Pengembangan PLTS tidak hanya untuk mencapai target bauran energi terbarukan, tapi juga menandakan bahwa Indonesia menguasai teknologi PLTS yang kompetitif,” terang Arya.

Adapun Chief Financial Officer (CFO) PT Trina Mas Agra Indonesia, Wilson Kurniawan mengungkapkan bahwa dari sisi perusahaan, industri sel dan modul surya membutuhkan dukungan.

Dukungan yang dimaksud berupa kepastian dan percepatan realisasi demand panel surya, prioritas penggunaan panel surya produksi dalam negeri, regulasi dan inisiatif untuk menumbuhkan industri pendukung panel surya, kebijakan yang mendorong investasi hulu, serta pengenaan bea impor untuk melindungi pabrikan dalam negeri.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Krisis Air Bersih, KLH Kirim 10.000 Galon dan Alat Penjernih ke Aceh
Krisis Air Bersih, KLH Kirim 10.000 Galon dan Alat Penjernih ke Aceh
Pemerintah
Ahli Lingkungan Sebut Perubahan Iklim Langgar Hak Asasi Manusia
Ahli Lingkungan Sebut Perubahan Iklim Langgar Hak Asasi Manusia
Pemerintah
Pasar Inverter Surya Global Diprediksi Turun Selama Dua Tahun ke Depan
Pasar Inverter Surya Global Diprediksi Turun Selama Dua Tahun ke Depan
Swasta
Peneliti Ungkap Krisis Iklim Tentukan Nasib Tempat Tinggal Kita
Peneliti Ungkap Krisis Iklim Tentukan Nasib Tempat Tinggal Kita
Pemerintah
Kapasitas Produksi Etanol Masih Rendah,  Akademisi ITB Soroti Wacana BBM E10
Kapasitas Produksi Etanol Masih Rendah, Akademisi ITB Soroti Wacana BBM E10
Pemerintah
Siklon Tropis di Indonesia: Fenomena Langka dan Ancaman Nyata Akhir Tahun
Siklon Tropis di Indonesia: Fenomena Langka dan Ancaman Nyata Akhir Tahun
Pemerintah
Sampah Pemudik Capai 59.000 Ton, KLH Minta Pengelola Rest Area Olah Sendiri
Sampah Pemudik Capai 59.000 Ton, KLH Minta Pengelola Rest Area Olah Sendiri
Pemerintah
Genjot Transisi Energi, Jepang Siapkan Subsidi 1,34 Miliar Dollar AS
Genjot Transisi Energi, Jepang Siapkan Subsidi 1,34 Miliar Dollar AS
Pemerintah
Kemenhut Bersih-bersih Gelondongan Kayu Terbawa Arus Banjir di Sumatera
Kemenhut Bersih-bersih Gelondongan Kayu Terbawa Arus Banjir di Sumatera
Pemerintah
Guru Besar UGM: RI Mestinya Pajaki Minuman Berpemanis dan Beri Subsidi Makanan Sehat
Guru Besar UGM: RI Mestinya Pajaki Minuman Berpemanis dan Beri Subsidi Makanan Sehat
LSM/Figur
Lahan Gambut Dunia jadi Garis Depan Lawan Perubahan Iklim
Lahan Gambut Dunia jadi Garis Depan Lawan Perubahan Iklim
Pemerintah
Waspadai Potensi Hujan Lebat Disertai Angin Kencang dan Petir Selama Nataru
Waspadai Potensi Hujan Lebat Disertai Angin Kencang dan Petir Selama Nataru
Pemerintah
Cokelat Terancam Punah, Ilmuwan Temukan Alternatifnya
Cokelat Terancam Punah, Ilmuwan Temukan Alternatifnya
Pemerintah
Peneliti IPB Kembangkan Rompi Anti Peluru dari Limbah Sawit
Peneliti IPB Kembangkan Rompi Anti Peluru dari Limbah Sawit
Pemerintah
Biaya Perawatan Pasien Obesitas dengan Komorbid Membengkak Tiap Tahun
Biaya Perawatan Pasien Obesitas dengan Komorbid Membengkak Tiap Tahun
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Rp
Minimal apresiasi Rp 5.000
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau