JAKARTA, KOMPAS.com - Organisasi Institute for Essential Services Reform (IESR) mencatat kontribusi penambahan energi terbarukan pada 2023 mencapai hampir 500 gigawatt (GW) di seluruh dunia, yang sebagian besar ditopang oleh energi surya.
Analis Sistem Ketenagakerjaan dan Energi Terbarukan IESR Alvin Putra S, mengatakan kontributor energi surya terbesar di dunia saat ini berasal dari Tiongkok.
“Tentu saja pemasangan terbesar berasal dari Tiongkok, itu hampir sekitar 60-70 persen itu berasal dari sana,” ujar Alvin, Selasa (13/8/2024).
Baca juga:
Namun demikian, terdapat beberapa negara berkembang lainnya seperti India dan Brasil, yang memang sebenarnya sudah sejak dulu cukup agresif untuk berkontribusi dalam energi surya, sekaligus semakin mengukuhkan statusnya sebagai salah satu big solar power hub di dunia.
Jika melihat dari perkembangan energi-energi lainnya, ia menyebutkan bahwa energi surya memiliki potensi yang paling cepat dan paling besar untuk diimplementasikan di seluruh dunia, baik di negara berkembang maupun negara maju.
Sementara itu, di kawasan Asia Tenggara, Vietnam dan Thailand masih mendominasi pengembangan energi surya. “Vietnam itu total energi surya sampai 17 gigawatt,” imbuhnya.
Namun, tak hanya kedua negara, ia mencatat pada 2-3 tahun terakhir, Filipina juga cukup masif mengembangkan energi surya. Filipina memiliki penambahan kapasitas energi surya sebesar 600 MW.
Bahkan, ia menilai Filipina mengalami penambahan signifikan dibandingkan dengan Vietnam dan Thailand yang bisanya lebih maju dalam energi surya di kawasan Asia Tenggara.
Salah satu faktor pendorong tingginya peningkatan energi surya di Filipina adalah karena didukung dengan kebijakan ekonomi yang konsisten, serta pasar para investor swasta yang melihat negara ini cukup stabil.
Baca juga:
Posisi selanjutnya, disusul oleh Malaysia dengan penambahan kapasitas energi surya sebesar 450 MW. Kemudian, ada Singapura yang memiliki penambahan energi surya 442 MW.
Sementara itu, posisi Indonesia pada 2-3 tahun terakhir juga telah menunjukkan perbaikan atau progres yang signifikan.
Kendati demukian, perkembangan energi surya di Indonesia memang masih menghadapi beberapa kendala. Salah satunya yakni harga modul lokal yang lebih mahal dari modul impor.
Berdasarkan analisis IESR, meskipun kapasitas produksi modul surya Indonesia cukup meningkat, mencapai 2,3 GW/tahun per Juni 2024, namun secara ukuran, efisiensi, harga dan kategori panel tier-1, Indonesia masih tertinggal dari modul surya impor.
Modul surya dalam negeri bahkan belum ada yang mendapatkan sertifikasi tier-1, sehingga sulit mendapatkan pembiayaan dari lembaga keuangan internasional.
“Harga PLTS lokal juga 30-45 persen lebih tinggi dibandingkan PLTS impor,” ujar Alvin.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya