KOMPAS.com - Pencegahan kerusakan ekosistem hutan di Indonesia membutuhkan perlindungan sosial adaftif yang terintegrasi berbasis kemasyarakatan.
Hal tersebut disampaikan pakar sosial-ekonomi IPB University Cut Sri Rozanna, sebagaimana dilansir Antara, Senin (16/9/2024).
Rozanna mengatakan, perlindungan sosial adaptif kemasyarakatan merupakan pendekatan untuk menyesuaikan perilaku masyarakat di daerah supaya tidak hanya mengandalkan hutan untuk bertahan hidup.
Baca juga: Hutan Wakaf Bisa Jadi Inisiatif Strategis Penerapan ESG
"Masyarakat di daerah ini diberikan intensif atau pemberdayaan yang dengan begitu nilai ekonomi dan budaya mereka terjaga, dan tidak lagi merambah hutan," kata Rozana dalam siniar bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Menurut dia, separuh luas daratan Indonesia adalah hutan. Sehingga hubungan masyarakat dengan rimba sangat berkaitan erat.
Kedekatan tersebut patut diperhatikan sehingga tidak berubah menjadi perambahan yang justru merusak ekosistem dan memicu bencana alam.
Misalnya masalah klise yang dihadapi saat ini seperti kawasan hutan beralih fungsi menjadi pemukiman atau lahan pertanian untuk menjawab tuntutan seiring populasi masyarakat yang terus berkembang.
Baca juga: 40 Persen Hutan Amazon yang Penting Masih Belum Terlindungi
Di sinilah, kata Rozanna, perlindungan sosial adaptif memainkan peran intinya.
Peran tersebut yaitu dengan memberikan dukungan sumber daya hingga melakukan penguatan investasi dan pemberdayaan masyarakat supaya mendapatkan nilai tambah.
Perlindungan sosial adaptif yang sudah dilakukan pemerintah salah satunya seperti membentuk Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) untuk mencegah pembukaan ladang berpindah.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat sebanyak 5.245 KUPS telah terbentuk dan mendapatkan nilai ekonomi sebesar Rp 519 miliar atau 67,88 persen per Juli 2023.
Baca juga: Microsoft Beli 234.000 Kredit Karbon untuk Restorasi Hutan dari Perusahaan Meksiko
Akan tetapi, Rozanna menilai program-program yang diinisiasi oleh pemerintah tersebut masih perlu diintegrasikan secara utuh.
Integrasi tersebut melibatkan berbagai pihak mulai dari antara kementerian atau lembaga terkait, pemerintah pusat, hingga pemerintah daerah.
Hal itu diperlukan agar pelaksanaan berbaga program tidak tumpang tindih kebijakan dan dapat mencapai targetnya.
Rozanna menyampaikan, integrasi untuk menangguhkan masyarakat lokal di daerah penting sebagai pondasi negara.
"Saya menilai hal itu sebagai investasi jangka panjang. Ketika hutan terlindungi maka lingkungan ekologis menjadi terjaga dan dampak positifnya mengurangi risiko bencana hingga resiliensi berkelanjutan," ucap Rozanna.
Baca juga: Wujudkan Hutan Berbasis Rakyat, Amartha Tanam 2000 Pohon di Bali
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya