KOMPAS.com - Industri tekstil diperkirakan bertanggung jawab atas 5-10 persen emisi global dan 20 persen polusi air industri.
Kondisi ini belum bisa terpecahkan karena industri mode dan tekstil malah terus tumbuh dan mengalami lonjakan permintaan.
Mengutip Green Economy, Rabu (25/9/2024) laporan terbaru PwC menunjukkan bahwa penjualan pakaian global telah meningkat lebih dari dia kali lipat dalam 20 tahun terakhir dan terus tumbuh lebih cepat daripada produk domestik bruto.
Baca juga: Pelaku Ekonomi Kreatif Diminta Terapkan Sustainable Fashion
Permintaan berlebih konsumen pun dipenuhi dengan solusi mode cepat (fast fashion) dan produksi cepat.
Sayangnya, solusi itu berarti sebanyak 40 persen pakaian yang diproduksi tidak pernah terjual atau dipakai yang berpotensi berakhir di tempat pembuangan akhir.
Ini ditambah beberapa pelaku terbesar industri mode justru menekankan kebijakan keberlanjutan yang tidak mengatasi masalah pada sumbernya.
Survei YouGov yang dilakukan Januari 2024 sendiri menemukan hanya 33 persen konsumen yang khawatir tentang dampak lingkungan dari pakaian.
Namun, 85 persen menyatakan penolakan terhadap pembuangan sampah atau pembakaran pakaian yang tidak terjual.
Baca juga: Slow Fashion, Gerakan Busana Selamatkan Bumi
Dari survei itu, 60 persen mengaku memiliki pakaian yang tidak biasa mereka pakai dan 43 persennya mengatakan sering frustrasi dengan kekacauan di lemari pakaian, menunjukkan konsumen cenderung memiliki kebiasaan membeli pakaian yang tidak sesuai kebutuhan.
Jadi bagaimana mengatasi situasi ini?
Penelitian PwC menemukan bahwa menggunakan kembali pakaian (reusing) selalu lebih baik daripada mendaur ulang dalam hal lingkungan.
Sebagai perbandingan, jejak karbon dari kaus katun yang digunakan kembali sekitar 60 kali lebih kecil daripada yang baru.
Baca juga: Polusi Mikroplastik Diperkirakan akan Terus Meningkat
Penggunaan kembali ini mencakup penjualan kembali oleh pihak ketiga seperti toko amal atau toko barang bekas.
Skema penggunaan pakaian kembali atau tukar tambah ini pun sebenarnya disebut efektif bagi brand fesyen dalam meningkatkan kredibilitas lingkungan sekaligus memanfaatkan peluang pasar baru.
Produsen dan penjual pakaian yang mengadopsi inisiatif yang lebih berdampak ini tidak hanya akan mengurangi limbah, tetapi juga dapat memengaruhi tindakan konsumen yang positif.
Penelitian lebih lanjut dari Green Alliance telah menunjukkan bahwa konsumen mendukung kebijakan yang bertujuan untuk mengurangi limbah dan produksi berlebih serta mendorong penggunaan kembali pakaian.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya