KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyampaikan, pemensiunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara membutuhkan campur tangan alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dia menuturkan, pembiayaan pengakhiran operasional PLTU batu bara melalui APBN diharapkan dapat mencakup pembangkit milik PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Menurut Fabby, pendanaan dari APBN akan menutup kesenjangan pendanaan pensiun dini PLTU milik PT PLN dari luar negeri atau lembaga keuangan internasional karena sejumlah isu mengenai valuasi nilai PLTU.
Baca juga: Rencana Pensiun Dini 13 PLTU, Pemerintah Pertimbangkan Hal Ini
Oleh karena itu, anggaran yang paling memungkinkan untuk memensiunkan PLTU dengan catatan tersebut adalah berasal dari APBN.
Selain itu, pengakhiran operasi PLTU milik PT PLN akan mengalihkan dana kompensasi tersebut ke kas perusahaan pelat merah tersebut.
Hal itu akan turut memperkuat permodalan PT PLN melakukan investasi yang lebih besar pada pembangkit energi terbarukan dan transmisi kelistrikan.
Fabby menambahkan, pelaksanaan pensiun PLTU batu bara juga perlu mempertimbangkan beberapa faktor penentu.
Contohnya usia PLTU yang mencapai sedikitnya 20 tahun atau telah melewati usia ekonomisnya, penggunaan teknologi PLTU batu bara subcritical yang menghasilkan emisi sangat tinggi, dan dilakukan di sistem kelistrikan yang pasokan daya listriknya berlebih.
Baca juga: Kementerian ESDM Targetkan Peta Jalan Pensiun Dini PLTU Rampung September
"Selain itu, perlu pula diperhatikan dampaknya terhadap keamanan energi dan mekanisme pembiayaannya," ucap Fabby, sebagaimana dilansir siaran pers yang diterima Kompas.com, Kamis (26/9/2024).
IESR memperkirakan, agar selaras dengan Perjanjian Paris 2015 untuk mencegah suhu bumi naik 1,5 derajat celsius, kapasitas PLTU batu bara perlu berhenti operasinya secara bertahap sebesar 2-3 gigawatt (GW) tiap tahun hingga 2045.
Berdasarkan penilaian Climate Policy Implementation Check 2024 dari IESR, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 103 tahun 2023 memberikan payung hukum untuk mendukung percepatan pensiun dini PLTU batu bara lewat Platform Transisi Energi yang dikelola oleh PT SMI.
Aturan ini memungkinkan pendanaan platform transisi energi bersumber dari APBN maupun sumber sah lainnya, seperti kerja sama pendanaan internasional.
Namun, IESR mendorong pelaksanaan PMK Nomor 103 tahun 2023 yang lebih efektif dengan memperjelas tata kelolanya.
Baca juga: Co-firing PLTU Upaya Tingkatkan Bauran EBT dengan Investasi Minim
Selain itu pelaksanaan tersebut perlu mengedepankan transparansi dalam penentuan keputusan dan alokasi pembiayaan APBN untuk dukungan pendanaan platform ini.
Dalam studinya, IESR menyoroti ada tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan PMK Nomor 103 tahun 2023 agar memastikan transisi energi yang adil dan berkelanjutan.
Pertama, diperlukan harmonisasi kebijakan lintas sektor untuk memastikan PMK ini sejalan dengan kebijakan terkait, seperti persyaratan tingkat komponen dalam negeri (TKDN), kewajiban pasar domestik (DMO) batu bara, subsidi bahan bakar fosil, dan peraturan fiskal lainnya.
Kedua, meningkatkan transparansi dan mekanisme pelaporan dan evaluasi kebijakan yang sejauh ini belum termuat dalam regulasi ini.
Ketiga, PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) sebagai pengelola platform perlu memperkuat mandatnya untuk mengakses sumber daya keuangan yang lebih besar.
Selain itu, platform ini perlu memiliki kerangka kerja yang jelas untuk mekanisme pemulihan biaya atau cost recovery.
Baca juga: Dilantik Jadi Menteri ESDM, Bahlil Diminta Tuntaskan Peta Jalan Pemensiunan PLTU Batu Bara
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya