KOMPAS.com - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mendorong praktik pertanian hortikultura berkelanjutan dengan biopestisida dan biostimulan ramah lingkungan.
Peneliti Ahli Muda di Pusat Riset Hortikultura BRIN Rasiska Tarigan mengatakan, para petani hortikultira kerap memberantas organisme pengganggu tanaman (OPT) alias hama dengan pestisida kimia secara intensif.
Di satu sisi, penggunaan pestisida kimia yang berlebihan dapat berdampak buruk terhadap ekosistem.
Baca juga: 7 Provinsi Jadi Proyek Pengembangan Kawasan Lahan Kering Hortikultura
Implementasi pestisida kima yang berlebihan juga mengurangi populasi musuh alami, meningkatkan resistensi hama, serta menghasilkan residu kimia yang berbahaya bagi kesehatan.
Agar mengurangi dampak buruk terhadap ekosistem, Rasiska menyampaikan pestisida kimia perlu diganti dengan biopestisida yang lebih ramah lingkungan.
Salah satu implementasi biopestisida adalah dengan memanfaatkan mikrobioma yang terdiri dari sejumlah mikroorganisme seperti bakteri, jamur, dan protozoa.
Selain dapat menangkal OPT, pemanfaatan biopestisida dari mikrobioma tersebut dapat berperan penting dalam meningkatkan kesehatan tanaman.
“Mikroba yang hidup di sekitar akar tanaman dapat membantu memperbaiki struktur tanah, menyediakan nutrisi, dan melindungi tanaman dari hama,” ujar Rasiska dalam Webinar HortiActive#10, Kamis (26/9/2024), dikutip dari situs web BRIN.
Baca juga: Kembangkan Hortikultura, Nojorono Kudus Bina UMKM Desa
Mikroba antagonis seperti bakteri dan jamur juga bisa dimanfaatkan sebagai biofungisida dan bioinsektisida yang dapat mengendalikan hama tanpa meninggalkan residu kimia.
Salah satu contoh yang sudah terbukti adalah Bacillus thuringiensis yang sudah digunakan sebagai bioinsektisida efektif.
Dalam penelitian mikrobioma yang dia lakukan, fokusnya bukan hanya pada pengendalian hama, tetapi juga untuk meningkatkan produktivitas tanaman.
“Mikroba di perakaran, atau mikroba rhizosfer, berperan dalam penyerapan nutrisi penting seperti nitrogen dan besi, serta mendukung proses fotosintesis,” jelas Rasiska.
Penelitian yang dia lakukan juga mengeksplorasi mikroba di bagian-bagian lain tanaman, seperti batang, daun, dan bunga, untuk menciptakan formula biopestisida yang lebih efektif dan ramah lingkungan.
Selain pengendalian hama, BRIN juga berfokus pada peningkatan produktivitas tanaman melalui inovasi lain seperti biostimulan.
Peneliti Ahli Utama di Pusat Riset Hortikultura BRIN Yadi Suryadi memperkenalkan biostimulan berbasis mikroba dan kitosan sebagai strategi mitigasi penyakit hortikultura.
Menurut Yadi, biostimulan merupakan zat bioaktif yang tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga meningkatkan kualitas tanaman, memperkuat ketahanan terhadap serangan penyakit, dan meningkatkan efisiensi penyerapan nutrisi.
“Kitosan yang diperoleh dari kulit krustasea seperti udang dan kepiting, telah terbukti mampu merusak dinding sel patogen, sekaligus merangsang pertahanan alami tanaman,” jelas Yadi.
Dalam uji laboratorium, biostimulan berbasis kitosan mampu menekan pertumbuhan Colletotrichum gloeosporioides, penyebab antraknosa pada pepaya, hingga 88 persen.
Baca juga: Sederet Fakta Kebakaran Taman Bunga Celosia di Bandungan, Laboratorium Hortikultura Ludes
Antraknosa merupakan salah satu penyakit utama yang menyerang tanaman hortikultura dan dapat mengurangi hasil panen secara drastis.
Selain pepaya, uji coba biostimulan ini juga dilakukan pada tanaman bawang merah yang terkena layu Fusarium, dengan hasil yang menunjukkan penurunan keparahan penyakit lebih dari 50 persen.
“Dengan penggunaan biostimulan, kita dapat mengurangi ketergantungan pada fungisida sintetis yang merusak lingkungan,” ucap Yadi.
Biostimulan ini juga dianggap cocok untuk diterapkan oleh petani kecil karena harganya yang relatif murah.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya