KOMPAS.com - Bahan bakar yang digunakan dalam industri penerbangan ternyata menyumbang sekitar 3 persen emisi gas rumah kaca (GRK) global.
Hal ini membuat produksi bahan bakar penerbangan atau avtur berkelanjutan (SAF) menjadi hal yang penting untuk penggunaan komersial.
Ilmuwan di Laboratorium Nasional Argonne pun kini mengembangkan teknologi baru untuk menciptakan SAF yang kompetitif dari segi biaya dan dapat mengurangi emisi GRK dalam industri penerbangan hingga 70 persen.
Mengutip Techxplore, Senin (14/10/2024) ilmuwan mengembangkan bahan bakar tersebut dengan memanfaatkan air limbah organik yang diubah menjadi asam lemak volatil dan ditingkatkan menjadi SAF.
Baca juga: Teknik Ramah Lingkungan Bisa Ubah Air Limbah Jadi Bahan Bakar
"Asam lemak volatil dari aliran limbah dapat membuat produksi biofuel lebih hemat biaya dan berkelanjutan sehingga bisa mendekarbonisasi industri penerbangan, kata Haoran Wu, seorang peneliti pascadoktoral Argonne.
Mengubah biomassa menjadi biofuel adalah proses kompleks yang melibatkan variabel dalam bahan organik yang digunakan sebagai bahan baku, serta teknologi konversi, pemisahan, dan pemurnian untuk memenuhi spesifikasi bahan bakar.
Alih-alih mengandalkan sumber daya yang lebih konvensional seperti lemak, minyak, dan lemak, para ilmuwan menggunakan air limbah kaya karbon dari pabrik bir dan peternakan sapi perah sebagai bahan baku untuk teknologi inovatif mereka.
Teknologi tersebut menghilangkan karbon organik dari aliran limbah berkekuatan tinggi ini yang sulit diolah secara hemat biaya.
Baca juga: Penggunaan Biofuel Diproyeksi Tembus 13,9 Juta KL Tahun 2025
"Dengan menggunakan teknologi kami, kami tidak hanya mengolah aliran limbah itu tetapi juga membuat bahan bakar berkelanjutan rendah karbon untuk industri penerbangan," kata penulis studi Taemin Kim,
Para ilmuwan juga menganalisis dampak ekonomi serta lingkungan untuk mengevaluasi pemanfaatan SAF baru ini.
Mereka mengatakan air limbah yang diubah SAF menjadi bahan bakar penerbangan yang secara signifikan mengurangi emisi karbon dibandingkan dengan bahan bakar jet konvensional.
Baca juga: 2 Bandara RI Ini Ditarget Implementasikan Bahan Bakar Berkelanjutan
Studi ini juga memberikan gambaran penggunaan bahan limbah yang jarang dimanfaatkan pada saat permintaan bahan yang umum untuk SAF mengalami kekurangan.
Lebih lanjut para ilmuwan berharap untuk mengomersialkan dan meningkatkan skala teknologi untuk penggunaan yang luas bahan bakar tersebut.
"Merancang teknologi berbantuan membran yang mencapai pengurangan 70 persen dalam gas rumah kaca dengan biaya yang sebanding dengan bahan bakar jet konvensional merupakan kemajuan yang signifikan," kata Wu.
"Kami akan terus berupaya untuk meningkatkan keberlanjutan dan mulai mengeksplorasi bahan baku lain untuk digunakan dengan teknologi kami," tambahnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya