KOMPAS.com-Ilmuwan dari Rutgers University, New Jersey, AS tengah mempelajari potensi dari rumput laut untuk diolah menjadi berbagai produk seperti biofuel dan pakan ternak.
Mengutip Phys, Senin (21/10/2024) dalam studi ini peneliti menggunakan spesies rumput laut cokelat yang disebut sargassum yang tumbuh alami di lautan.
"Kami berencana untuk memproduksi biofuel yang merupakan bahan bakar seperti etanol serta pakan ternak di samping berbagai bahan kimia industri," kata Shishir Chundawat, Peneliti Utama Rutgers dan Associate Professor di Departemen Teknik Kimia dan Biokimia Rutgers School of Engineering.
Baca juga: Penggunaan Biofuel Diproyeksi Tembus 13,9 Juta KL Tahun 2025
Untuk itu peneliti perlu menentukan bagaimana, kapan dan di mana rumput laut tersebut. Serta menyempurnakan proses yang akan mengekstrak komponen organik dan anorganik dari rumput laut.
Rumput laut sargassum berasal dari Laut Sargasso di wilayah Samudra Atlantik. Laut tersebut menghasilkan ledakan pertumbuhan makroalga terbesar di dunia setiap tahunnya, yang disebabkan oleh iklim bumi yang menghangat.
Ledakan rumput laut tersebut menimbulkan masalah lingkungan serius bagi masyarakat pesisir. Pasalnya, biomassa ini yang disebut sebagai "Sabuk Sargassum Atlantik Besar," bisa membentang sejauh 5.000 mil dari timur ke barat, dari Afrika Barat hingga Teluk Meksiko.
Masyarakat di wilayah tersebut pun mengalami masuknya rumput laut dalam jumlah besar dan menghasilkan gundukan tidak sedap dipandang dan berbau.
Lebih buruk lagi, mikroorganisme yang mendegradasi biomassa melepaskan gas beracun yang berbahaya bagi manusia dan berdampak buruk pada pariwisata.
Baca juga: Studi Sebut 8 dari 10 Orang di Dunia Terdampak Perubahan Iklim
Dengan meningkatnya perubahan iklim, pertanyaannya adalah apakah kita dapat membuang material tersebut atau mengolahnya menjadi produk yang bermanfaat.
Di sinilah peneliti kemudian peneliti berpikir untuk mengembangkan proses biorefineri rumput laut sargassum yang mengintegrasikan berbagai teknologi konversi.
Biorefineri sendiri serupa dengan kilang petrokimia yang menghasilkan produk kompleks dari bahan baku. Namun, biorefineri akan menggunakan biomassa terbarukan sebagai titik awal, bukan bahan yang berasal dari bahan bakar fosil.
Penggunaan rumput laut secara produktif telah ada sejak zaman kuno namun Kita belum memanfaatkan sepenuhnya potensi rumput laut sebagai bahan baku untuk proses industri.
Baca juga: Luhut Ungkap Proyek Hilirisasi Rumput Laut, Klaim Nilai Impor Rp 303,8 Triliun pada 2030
Peneliti pun berharap dapat mempelajari cara mengubah sargassum secara berkelanjutan melalui proses yang relevan hingga menjadi beragam produk.
"Mengingat bagaimana perubahan iklim telah menyebabkan mekarnya rumput laut secara besar-besaran, sumber daya ini kemungkinan akan menjadi sumber bahan baku yang melimpah selama bertahun-tahun mendatang," ungkap Chundawat.
Akan tetapi peneliti menyebut kemungkinan masih perlu waktu waktu satu dekade atau lebih lagi sebelum biorefineri rumput laut menjadi kenyataan secara komersial.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya