KOMPAS.com - Sebuah studi baru yang dilakukan oleh peneliti di Universitas Twente, Belanda menyoroti perubahan jumlah air yang dikonsumsi manusia untuk menanam tanaman utama dunia.
Dalam studi ini, peneliti mengamati 175 tanaman dari periode 1990-2019 yang dikaitkan dengan penggunaan air hijau dan biru. Air hijau mengacu pada air yang berasal dari curah hujan dan air biru berasal dari irigasi dan air tanah.
Hasil studi menemukan sejak tahun 1990, total penggunaan air global telah meningkat hampir 30 persen atau 1,55 triliun meter kubik.
Baca juga:
"Perkiraan penggunaan air untuk tahun 2019 adalah 6,8 triliun m3 air yang berarti sekitar 2400 liter per orang per hari," papar Oleksandr Mialyk, peneliti studi ini.
Analisis tersebut menunjukkan bahwa jumlah air yang kita konsumsi terus bertambah, yang dapat memperburuk berbagai masalah lingkungan dan sosial ekonomi yang sudah ada.
Seperti dikutip dari Phys, Rabu (30/10/2024) hampir 90 persen total peningkatan penggunaan air terjadi antara tahun 2000 hingga 2019.
Menurut peneliti hal tersebut dikaitkan dengan tiga pendorong. Pertama, globalisasi dan pertumbuhan ekonomi yang dipercepat secara substansial meningkatkan konsumsi berbagai tanaman dan produk tanaman impor.
Kedua, pola makan global beralih ke produk yang lebih banyak menggunakan air seperti produk hewani, minuman manis, dan makanan manis dan berlemak.
Ketiga, keamanan energi dan agenda hijau dari banyak pemerintah mendorong produksi biofuel berbasis tanaman.
Baca juga: Global Head Water CDP: Pengelolaan Air Jadi Isu Penting Rantai Pasok Global
Perubahan sosial ekonomi tersebut sebagian besar mendukung budidaya tanaman pangan fleksibel atau tanaman yang dapat diolah menjadi berbagai macam produk.
Misalnya, tiga tanaman pangan terbesar yakni kelapa sawit, kacang kedelai, dan jagung dapat menjelaskan setengah dari total peningkatan air untuk pertanian antara tahun 1990-2019.
Lebih lanjut, peneliti menyebut India, Tiongkok, dan Amerika Serikat adalah konsumen air terbesar.
Namun, peningkatan penggunaan air sebagian besar terjadi di daerah tropis, yang sering kali disertai dengan dampak lingkungan lainnya, termasuk penggundulan hutan dan hilangnya keanekaragaman hayati.
"Wilayah ini menawarkan kondisi geografis yang optimal untuk produksi tanaman pangan sementara kebijakan pertanian yang menguntungkan menarik investasi dari perusahaan agrifood besar," jelas peneliti.
Baca juga: Konsumen Tak Familier dengan Pertanian Regeneratif
Akibatnya, beberapa wilayah menjadi semakin terspesialisasi dalam sejumlah kecil tanaman yang membutuhkan banyak air, seperti kelapa sawit di Indonesia atau kedelai dan tebu di Brasil.
Data peneliti juga menunjukkan bahwa manusia akan terus meningkatkan konsumsi air untuk produksi tanaman dalam beberapa dekade mendatang.
Menurut peneliti lebih banyak tanaman yang diproduksi akan memberi lebih banyak tekanan pada sumber daya air yang terbatas di seluruh dunia.
Namun mungkin ada skenario yang optimis untuk mengatasi masalah ini. Misalnya dengan mengalihkan produksi tanaman ke wilayah yang tidak terlalu kekurangan air, mengadopsi pola makan yang tidak terlalu membutuhkan banyak air, dan meminimalkan kebutuhan akan biofuel.
"Penelitian kami menunjukkan bahwa kita memiliki banyak masalah dan sekarang saatnya untuk mencari solusi demi masa depan produksi tanaman yang lebih berkelanjutan dalam hal air," tulis peneliti.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya