KOMPAS.com - Lembaga riset independen Traction Energy Asia (TEA) memandang, pemanfaatan limbah sawit dan limbah pertanian lainnya yang digunakan untuk bahan baku pembuatan bioetanol lebih ramah lingkungan.
Sehingga, pemanfaatan limbah tersebut perlu dipertimbangkan oleh pemerintah sebagai alternatif untuk bahan bakar nabari.
Bioetanol merupakan jenis bahan bakar terbarukan yang dihasilkan dari bahan baku biomassa sumber pati, sumber gula, dan sumber selulosa.
Baca juga: Jalan Panjang Bioetanol, BRIN: RI Masih Impor Singkong
Program Manager Traction Energy Asia Refina Muthia Sundari mengatakan, pihaknya mendorong pemerintah untuk melakukan diversifikasi bahan baku bioetanol dan tidak hanya mengandalkan tanaman tertentu saja seperti tebu.
"Bicara soal rantai pasok, kalau misalkan memang nantinya bioetanol ada diversifikasi bahan baku dan kemudian nanti bahan bakunya berasal dari limbah, sebenarnya dari rantai pasoknya sendiri itu sudah sangat ramah lingkungan," kata Refina, sebagaimana dilansir Antara, Jumat (1/11/2024).
Dengan memanfaatkan limbah pertanian, jelas Refina, maka tidak memerlukan ekstensifikasi lahan atau memperluas lahan dengan mencari lahan-lahan baru.
"Pemanfaatan limbah justru menjadi peluang bagi pemerintah untuk intensifikasi atau meningkatkan hasil pertanian," tuturnya.
Jika pemerintah menetapkan limbah kelapa sawit maupun limbah pertanian lainnya sebagai bahan baku bioetanol, Refina memandang hal ini juga memunculkan peluang baru untuk mendorong perekonomian regional di daerah.
Baca juga: BBM Baru RON 95 Akan Meluncur Akhir Juli, Ada Campuran Bioetanol
Misalnya dengan membuat kebijakan kawasan ekonomi khusus.
Ia mengingatkan, kebun kelapa sawit sudah banyak tersedia di Indonesia seperti di pulau Sumatera.
Oleh sebab itu, pemerintah didorong untuk memanfaatkan ekosistem yang sudah terbentuk untuk memaksimalkan produksi bioetanol dari limbah kelapa sawit.
"Pada prinsipnya, kalau untuk rantai pasok, semakin pendek rantai pasok, misalkan di Sumatera, kita bisa memproduksi dari Sumatera untuk Sumatera. Nah, itu akan sangat lebih murah dan juga sangat ramah lingkungan," papar Refina.
Berdasarkan hasil perhitungan TEA, limbah batang pohon kelapa sawit merupakan bahan baku yang paling ekonomis di antara bagian pohon kelapa sawit lainnya seperti tandan buah kosong dan sabut kelapa sawit.
Baca juga: Pemerintah Berencana Kembangkan Bioetanol untuk Campuran BBM
Menurutnya, biaya produksi bioetanol dari limbah batang pohon kelapa sawit relatif lebih murah meskipun nantinya masih dibutuhkan subsidi untuk membangun infrastruktur pengembangan selulosa etanol tersebut.
"Kita masih harus membangun infrastrukturnya dan lain sebagainya yang memang dibutuhkan untuk pengembangan selulosa etanol. Itu adalah batang pohon kelapa sawit dengan besaran sekitar Rp 6.700 per liter untuk subsidinya. Kalau untuk biaya produksinya sebesar Rp 7.000," jelas Refina.
Sebelumnya dalam pidato perdananya pada 20 Oktober lalu, Presiden Prabowo Subianto menekankan swasembada energi. Menurutnya, hasil perkebunan seperti kelapa sawit, singkong, tebu, dan jagung berpotensi besar untuk diolah menjadi bahan bakar nabati pengganti minyak bumi.
Pemerintahan Prabowo juga mencanangkan Indonesia sebagai raja energi hijau dunia melalui pengembangan produk biodiesel dan bioavtur dari sawit, bioetanol dari tebu dan singkong, serta energi hijau lainnya dari angin, matahari, dan panas bumi.
Hal ini sebagaimana tertuang dalam dokumen visi-misi Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Pengembangan bioetanol juga masuk dalam program kerja Prabowo-Gibran dalam Asta Cita 2 poin ekonomi hijau. Dokumen tersebut menyebutkan tentang rencana untuk mengembangkan bioetanol dari singkong dan tebu, sekaligus menuju kemandirian komoditas gula.
Baca juga: Naik, Harga Bioetanol Oktober 2024 Jadi Rp 14.144 Per Liter
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya