Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah Diminta Tetapkan Regulasi Minyak Jelantah, Sebelum Kegagalan Pasar

Kompas.com - 06/08/2024, 14:34 WIB
Faqihah Muharroroh Itsnaini,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

 

JAKARTA, KOMPAS.com - Penelitian telah menunjukkan besarnya potensi ekonomi yang dihasilkan dari minyak jelantah untuk menjadi biodiesel, sebagai sumber daya energi terbarukan.

Dengan tingginya konsumsi dan ekspor minyak Indonesia, negara perlu melakukan intervensi terhadap pengelolaan minyak jelantah untuk mengoptimalisasi kemakmuran rakyat. 

Sebab, jika pengelolaan dan potensi minyak jelantah tidak diatur, maka bisa berpotensi menyebabkan terjadinya kegagalan pasar. Kegagalan pasar terjadi akibat adanya informasi yang asimetris dan eksternalitas.

Baca juga: Paramount dan noovoleum Olah Minyak Jelantah Jadi Energi Terbarukan

Asimetris akan menyebabkan ketidakseimbangan informasi, di mana hanya salah satu pihak saja yang memperoleh keuntungan, dan menghambat kegiatan pasar secara efisien.

Sementara, eksternalitas berarti biaya atau manfaat minyak jelantah (used cooking oil atau UCO) yang ditimbulkan oleh produsen tidak terefleksi dalam harga sebuah produk.

Dorong pemerintah tetapkan aturan

Sampai saat ini, Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang tata kelola dan pemanfaatan potensi minyak jelantah sebagai sumber daya energi terbarukan.

Direktur Program Traction Energy Asia, Sudaryadi mengatakan, hal ini berdampak pada harga minyak jelantah yang bervariasi, akibat belum adanya intervensi pemerintah terhadap aktivitas jual-beli.

Pemerintah juga belum mengatur status minyak jelantah sebagai komoditas sumber daya energi terbarukan ataupun sebagai limbah

“Jika dianggap sebagai limbah, maka harga minyak jelantah di pasar sudah terlalu tinggi. Sangat krusial agar pemerintah segera mengatur dan menetapkan harga,” ujar Sudaryadi dalam diskusi peluncuran Naskah Akademis Tata Kelola dan Tata Niaga Minyak Jelantah di Jakarta, Senin (5/8/2024). 

Baca juga: Luhut: Indonesia Akan Bangun Industri Minyak Jelantah Pengganti Avtur

Senada, Direktur Pusat Kajian sekaligus Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Andri Gunawan Wibisana mendorong perlunya pengaturan penentuan harga maksimum minyak jelantah oleh pemerintah. 

Selain itu, kata dia, pengenaan tarif ekspor menjadi hal penting lainnya dalam tata kelola dan tata niaga minyak jelantah.

“Karena kebutuhan akan biofuel dan UCO itu akan menjadi tinggi, dan ini kalau tidak diatur akan menyebabkan inflasi atau greenflation,” ujar Andri. 

Keduanya berharap, melalui kajian naskah akademis yang sudah diluncurkan, pemerintah dapat menetapkan regulasi tertulis mengenai pengelolaan minyak jelantah. 

"Tindak lanjutnya, idealnya kami di tim (kajian), menginginkan perpres. Tapi kalau itu tidak memungkinkan dalam waktu singkat, bisa dibuat dari yang paling urgent dalam hal ini terkait harga, bisa peraturan menteri," imbuh Andri. 

Bahkan, Sudaryadi menilai, potensi penting pengelolaan minyak jelantah sebagai sumber daya domestik, perlu diatur hingga tingkat Peraturan Pemerintah (PP). 

Baca juga: Mahasiswa IPB Olah Minyak Jelantah Jadi Lilin Aromaterapi

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Hutan Kota Bantu Kurangi Risiko Kesehatan akibat Panas Ekstrem

Hutan Kota Bantu Kurangi Risiko Kesehatan akibat Panas Ekstrem

Pemerintah
Kisah Mennatullah AbdelGawad yang Integrasikan Pembangunan Berkelanjutan ke Sektor Konstruksi

Kisah Mennatullah AbdelGawad yang Integrasikan Pembangunan Berkelanjutan ke Sektor Konstruksi

Swasta
Kemiskinan Naik di Daerah Tambang, Pertumbuhan Ekonomi Hanya di Atas Kertas

Kemiskinan Naik di Daerah Tambang, Pertumbuhan Ekonomi Hanya di Atas Kertas

LSM/Figur
Ilmuwan Temukan Cara Manfaatkan Ampas Kopi untuk Beton

Ilmuwan Temukan Cara Manfaatkan Ampas Kopi untuk Beton

LSM/Figur
Cegah Kerusakan Hutan Perlu Perlindungan Sosial Berbasis Masyarakat

Cegah Kerusakan Hutan Perlu Perlindungan Sosial Berbasis Masyarakat

LSM/Figur
Kabar Baik, WMO Prediksi Lapisan Ozon Bisa Pulih Sepenuhnya

Kabar Baik, WMO Prediksi Lapisan Ozon Bisa Pulih Sepenuhnya

LSM/Figur
Adaro Masuk Daftar TIME World’s Best Companies 2024, Apa Strateginya?

Adaro Masuk Daftar TIME World’s Best Companies 2024, Apa Strateginya?

Swasta
Konvensi Panas Bumi IIGCE Berpotensi Hadirkan Investasi Rp 57,02 Triliun

Konvensi Panas Bumi IIGCE Berpotensi Hadirkan Investasi Rp 57,02 Triliun

Swasta
AI Bisa Tekan Emisi Karbon dan Tingkatkan Keuntungan Perusahaan, Bagaimana Caranya?

AI Bisa Tekan Emisi Karbon dan Tingkatkan Keuntungan Perusahaan, Bagaimana Caranya?

Swasta
Indonesia Turunkan Perusak Ozon HCFC 55 Persen Tahun 2023

Indonesia Turunkan Perusak Ozon HCFC 55 Persen Tahun 2023

Pemerintah
Masuk 500 Besar Perusahaan Terbaik Versi TIME, Intip Strategi ESG Astra

Masuk 500 Besar Perusahaan Terbaik Versi TIME, Intip Strategi ESG Astra

Swasta
Wanagama Nusantara Jadi Pusat Edukasi dan Konservasi Lingkungan di IKN

Wanagama Nusantara Jadi Pusat Edukasi dan Konservasi Lingkungan di IKN

Pemerintah
20 Perusahaan Global Paling 'Sustain' Versi Majalah TIME, Siapa 20 Teratas?

20 Perusahaan Global Paling "Sustain" Versi Majalah TIME, Siapa 20 Teratas?

Swasta
Tanpa Turunnya Emisi, Populasi Dunia Hadapi Ancaman Cuaca Ekstrem

Tanpa Turunnya Emisi, Populasi Dunia Hadapi Ancaman Cuaca Ekstrem

LSM/Figur
Kerajinan Lontar Olahan Perempuan NTT Diakui di Kancah Global

Kerajinan Lontar Olahan Perempuan NTT Diakui di Kancah Global

LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Selamat, Kamu Pembaca Terpilih!
Nikmati gratis akses Kompas.com+ selama 3 hari.

Mengapa bergabung dengan membership Kompas.com+?

  • Baca semua berita tanpa iklan
  • Baca artikel tanpa pindah halaman
  • Akses lebih cepat
  • Akses membership dari berbagai platform
Pilihan Tepat!
Kami siap antarkan berita premium, teraktual tanpa iklan.
Masuk untuk aktivasi
atau
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau