Sasaran reboisasi seluas 12,7 juta ha mestinya diprioritaskan terlebih dulu di lokasi kawasan hutan yang menjadi kawasan lindung, yakni hutan konservasi dan hutan lindung yang telah terdeforestasi dan terdegradasi (tidak ada tutupan hutannya) seluas 10,1 juta ha.
Rinciannya: hutan konservasi 4,5 juta ha dan hutan lindung 5,6 juta ha.
Sebagai kawasan lindung, hutan konservasi dan hutan lindung wajib mempunyai tutupan hutan, karena mempunyai peran strategis sebagai penyeimbang tata air dari hulu ke hilir dalam suatu ekosistem daerah aliran sungai (DAS).
Bencana hidrometeorologi yang selama ini terjadi di Indonesia seperti banjir, banjir bandang, tanah longsor, kekeringan sebagian besar karena minimnya luas kecukupan tutupan hutan di daerah hulu suatu kawasan DAS, khususnya DAS-DAS besar.
Hal ini tidak akan terjadi atau kecil peluangnya terjadi bencana hidrometeorologi apabila semua kawasan lindung terutama hutan konservasi dan hutan lindung di daerah hulu telah mempunyai tutupan hutan semuanya.
Sisanya kegiatan reboisasi seluas 2,6 juta ha dapat diarahkan pada kawasan hutan produksi. Itupun harus dipilih dan dipilah pada hutan produksi yang bukan diperuntukkan penggunaan lain (alih fungsi hutan) untuk dilepaskan kawasan hutan produksi, yang selama ini dikenal sebagai hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK).
Selain itu, bukan juga hutan produksi biasa (HPB) yang akan diberikan untuk kegiatan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam IUPHHK-HA).
Dengan kata lain, reboisasi di kawasan hutan produksi dapat diarahkan pada kawasan hutan produksi terbatas (HPT).
Dari hutan produksi yang terdeforestasi dan terdegradasi seluas 23,3 juta ha, terdiri dari hutan produksi terbatas (HPT) 5,4 juta ha, hutan produksi biasa (HPB) 11,4 juta ha, dan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) 6,5 juta ha.
Paradigma reboisasi adalah kegiatan rehabilitasi hutan dalam bentuk menanam pohon hutan (revegetasi) atau pengayaan (enrichment planting) untuk membangun hutan baru pada kawasan hutan yang telah mengalami proses deforestasi, khususnya pada kawasan hutan yang tidak lagi mempunyai tutupan hutan (non forested).
Reforestasi atau juga dikenal dengan istilah reboisasi seharusnya ditempatkan dalam kerangka (frame) membangun hutan kembali secara permanen sebagaimana keadaan sebelum terjadinya kegiatan deforestasi.
Bentuknya dapat berupa hutan monokultur maupun hutan heterogen. Pisahkan dulu pengertian deforestasi di kawasan hutan produksi yang secara legal memang disahkan melalui perizinan dari pemanfaatan hasil hutan kayu hutan alam maupun hutan tanaman yang dikelola dengan prinsip lestari dan berkelanjutan.
Di kawasan tersebut akan direforestasi secara terus menerus setelah dilakukan penebangan/pemanenan (cutting).
Selama ini terdapat pemahaman salah yang dikembangkan oleh pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan (KLHK).
Reforestasi dianggap sebagai kegiatan menanam pohon yang indentik dengan membangun hutan, dikapitalisasi dari jumlah bibit atau anakan dalam luasan tertentu untuk mereduksi (mengurangi) luasan kawasan hutan yang telah terdeforestasi.
Padahal membangun hutan adalah membentuk bibit atau anakan pohon yang ditanam tidak sekadar ditanam, tetapi juga perlu dipelihara, dijaga, dan dirawat menjadi pohon dewasa setidaknya berumur minimal 15-20 tahun.
Dalam terminologi ilmu kehutanan, khususnya ekologi hutan; untuk menjadi pohon dewasa, anakan/bibit pohon yang ditanam harus mengalami proses metamorphosis melalui empat tahapan.
Tahapan tersebut, yakni seedling (semai) permudaan mulai kecambah sampai setinggi 1,5 m; sapling (sapihan, pancang) permudaan yang tinggi 1,5 m dan lebih sampai pohon muda berdiameter kurang dari 10 cm.
Lalu pole (tiang), yaitu pohon pohon muda berdiameter 10 – 35 cm; trees (pohon dewasa) berdiameter diatas 35 cm.
Celakanya, pemerintah sampai sekarang masih menggunakan paradigma lama dalam kegiatan reforestari, yang dilaksanakan bersifat keproyekan dengan alasan keterbatasan anggaran.
Menanam anakan pohon dan pemeliharaannya hanya dilakukan sampai tanaman berumur 3 tahun. Selebihnya diserahkan kepada mekanisme alam, dibiarkan berjuang dan tumbuh sendiri tanpa intervensi manusia.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya