Lucunya lagi, dalam kegiatan reforestasi ini, pemerintahan berharap peran masyarakat untuk merawat dan memeliharanya. Padahal, rehabilitasi kawasan hutan menjadi tanggung jawab penuh pemerintah.
Beda dengan rehabilitasi lahan, memang perawatan dan pemeliharan tanaman selanjutnya diserahkan kepada pemilik lahan.
Agar reboisasi berhasil, pemerintah harus sanggup membiayai pemeliharaan dan perawatan tanaman menjadi pohon dewasa.
Ingat, karena menyangkut kawasan hutan, maka tanggung jawab reboisasi adalah tanggungjawab penuh pemerintah (Kementerian Kehutanan) dan tidak dapat dibebankan pada masyarakat.
Lain halnya, penghijauan yang dilakukan pada kawasan nonkehutanan, keberhasilannya sangat tergantung pada partisipasi masyarakat penuh.
Secara teknis, tingkat kesulitan yang dihadapi adalah mereboisasi di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung yang tingkat aksesibilitasnya rendah.
Pada umumnya, topografi kawasan hutan konservasi dan hutan lindung adalah perbukitan dan pegunungan yang sulit dijangkau oleh manusia. Jangankan untuk menanam bibit tanaman, membawa bibit ke lokasi tanam pun sulit.
Manajemen persemaian kehutanan permanen yang dibangun pemerintah di tiap tiap provinsi ternyata keliru selama ini. Bibit tanaman hutan yang dihasilkan dari persemaian kehutanan permanen, ternyata tidak untuk merehabilitasi hutan yang terdeforestasi dan terdegradasi, tetapi hanya dibagikan kepada masyarakat yang membutuhkannya untuk kegiatan rehabilitasi lahan di luar kawasan hutan.
Berdasar aspek teknis, pemusatan persemaian kehutanan permanen sesungguhnya mempunyai banyak kelemahan. Salah satunya dalam distribusi bibit.
Dalam mendistribusikan bibit tanaman kesasaran lokasi penanaman, berdasarkan aturan, jarak antara persemaian dengan lokasi penanaman tidak boleh lebih dari 5 km.
Bila bibit diangkut lebih dari radius 5 km, maka peluang bibit rusak dan mati akan sangat tinggi, karena bibit mengalami "stres".
Oleh karena itu, ketentuan di kehutanan bahwa 10.000 ha kawasan hutan harus mampu membangun persemaian sendiri di dalamnya dengan kapasitas produksi minimal 16.500.000 bibit plus sulaman tahun berjalan 1.650.000 bibit.
Meski mahal, membangun persemaian di sekitar lokasi penanaman lebih terjamin keberhasilannya.
Dari luas 12,7 juta ha yang akan direboisasi, dibutuhkan 1.270 titik lokasi persemaian. Setiap titik setidaknya menyediakan bibit untuk lahan seluas 10.000 ha.
Pemeliharaan, perawatan, dan pengawasan tanaman harus dipastikan sampai tanaman menjadi pohon dewasa.
Dalam ilmu silvikultur, reboisasi disebut berhasil apabila setelah 16 tahun, minimal ada 400 batang pohon dewasa yang hidup dalam satu hektare.
Asumsinya adalah setelah melalui proses pemupukan, pemangkasan, dan penjarangan sampai dengan jarak 5 x 5 m setiap hektare, tanaman dapat hidup sehat menjadi pohon dewasa.
Persoalan mendasar adalah mampukah pemerintah (meskipun akan bermitra dengan pihak swasta atau dana dari luar negeri berupa pinjaman/hibah) menyediakan dana yang sangat besar?
Menurut perkiraan para ahli kehutanan, program tersebut menelan biaya tujuh sampai sepuluh kali lebih besar dari yang selama ini disiapkan oleh pemerintah setiap hektarenya. Kita lihat saja perkembangan selanjutnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya