Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com, 23 November 2024, 15:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - KTT Iklim COP29 di Baku, Azerbaijan, molor dari jadwal penutupan yang sedianya terjadi pada Jumat (22/11/2024).

Pada Jumat, setelah bernegosiasi selama hampir dua pekan, negara-negara kaya mengusulkan menaikkan komitmen mereka terhadap aksi iklim di negara-negara miskin dari 100 miliar dollar AS menjadi 250 miliar dollar AS per tahun pada 2035.

Tawaran tersebut ditolak mentah-mentah oleh negara-negara berkembang.

Baca juga: COP29: 52 Negara Teken Deklarasi Pariwisata Berkelanjutan

Pasalnya, mereka membutuhkan dana dalam jumlah besar untuk mengalihkan ekonomi mereka ke energi bersih dan membangun ketahanan terhadap dampak krisis iklim yang mereka alami.

Para negosiator dari hampir 200 negara menghabiskan malam yang panjang dan melelahkan di meja perundingan untuk mencapai angka kompromi.

Hingga fajar terbit, kesepakatan pendanaan belum diterima semua pihak. Pembicaraan dilanjutkan pada Sabtu (23/11/2024).

Sejumlah negosiator negara berkembang dan paling terdampak perubahan iklim mengungkapkan kemuakannya kepada negara-negara maju.

Baca juga: RI Tunda Luncurkan Second NDC di COP29, Ini Respons Masyarakat Sipil

Utusan iklim dari Panama, Juan Carlos Monterrey Gomez, mengkritik angka yang diusulkan negara maju terlalu rendah.

"Saya sangat marah. Ini konyol. Benar-benar konyol. Rasanya negara-negara maju ingin planet ini terbakar," kata Gomez, dilansir dari Reuters.

Kemuakan yang sama juga diungkapkan utusan iklim dari Kepulauan Marshall, Tina Stege.

"Sangat memalukan untuk mengajukan teks seperti itu," kata Stege, dilansir dari AFP.

Baca juga: COP29: Organisasi Internasional Khawatirkan Skema Bursa Karbon Global

Aliansi Negara-negara Pulau Kecil, yang menganggap perubahan iklim sebagai ancaman eksistensial, mengatakan tawaran yang diusulkan negara-negara kaya tersebut menunjukkan penghinaan terhadap penduduk yang rentan.

Ali Mohamed, ketua Kelompok Negosiator Afrika, menyatakan angka tersebut sama sekali tidak dapat diterima dan tidak memadai.

Di sisi lain, beberapa negosiator dari negara berkembang menuntut pendanaan iklim sedikitnya 500 miliar dollar AS dari negara maju.

Para analis mengatakan, bagi Uni Eropa dan negara-negara kaya lainnya, target 250 miliar dollar AS hanya selisih sedikit dari apa yang telah mereka belanjakan untuk pendanaan iklim.

"Tanpa banyak peningkatan, negara-negara maju seharusnya dapat memenuhi jumlah tersebut pada tahun 2030," kata David Waskow dari World Resources Institute (WRI).

Baca juga: COP29 Belum Sepakati Pendanaan Iklim untuk Negara Berkembang

Pembelaan negara kaya

Di sisi lain, seorang negosiator Eropa mengatakan kepada Reuters, tuntutan yang diajukan terlalu tinggi dan tidak cukup untuk memperluas jumlah negara yang berkontribusi pada pendanaan.

"Tidak seorang pun merasa nyaman dengan jumlah tersebut, karena jumlahnya tinggi dan (tidak ada) peningkatan basis kontributor yang berarti," kata negosiator tersebut.

Di luar UE, negara-negara yang akan menggelontorkan dana mencakup Australia, Amerika Serikat (AS), Inggris, Jepang, Norwegia, Kanada, Selandia Baru, dan Swiss.

Di samping itu, AS dan Uni Eropa menginginkan agar negara-negara berkembang yang kaya seperti China untuk ikut ambil bagian memberikan pendanaan.

Baca juga: Pemerintah Didesak Setop Perdagangan Karbon pada COP29

"Negeri Panda" saat ini menjadi kontributor emisi gas rumah kaca terbesar nomor dua di dunia setelah AS.

China, yang masih diklasifikasikan sebagai negara berkembang berdasarkan kerangka PBB, menyediakan bantuan iklim tetapi ingin terus melakukannya dengan ketentuannya sendiri.

Secara terpisah, ada desakan untuk bahasa yang lebih kuat dalam kesepakatan untuk menegaskan kembali janji global menjauh dari batu bara, minyak, dan gas yang menjadi penyebab utama pemanasan global.

Seorang pejabat Saudi yang berbicara atas nama Kelompok Arab mengatakan pada Kamis bahwa blok tersebut tidak akan menerima teks apa pun yang menargetkan sektor tertentu, termasuk bahan bakar fosil, di Baku.

Baca juga: Ratusan Pelobi Industri Pertanian Datangi COP29, Ini Agendanya

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Tren Global Rendah Emisi, Indonesia Bisa Kalah Saing Jika Tak Segera Pensiunkan PLTU
Tren Global Rendah Emisi, Indonesia Bisa Kalah Saing Jika Tak Segera Pensiunkan PLTU
LSM/Figur
JSI Hadirkan Ruang Publik Hijau untuk Kampanye Anti Kekerasan Berbasis Gender
JSI Hadirkan Ruang Publik Hijau untuk Kampanye Anti Kekerasan Berbasis Gender
Swasta
Dampak Panas Ekstrem di Tempat Kerja, Tak Hanya Bikin Produktivitas Turun
Dampak Panas Ekstrem di Tempat Kerja, Tak Hanya Bikin Produktivitas Turun
Pemerintah
BMW Tetapkan Target Iklim Baru untuk 2035
BMW Tetapkan Target Iklim Baru untuk 2035
Pemerintah
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
LSM/Figur
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Pemerintah
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Pemerintah
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Pemerintah
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Pemerintah
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
BUMN
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Pemerintah
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
LSM/Figur
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Pemerintah
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Pemerintah
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau