KOMPAS.com - Tidak ada negara dan wilayah yang kebal dari ancaman kekeringan. Dari negara maju, negara kaya, negara dengan banyak hutan, bahkan negara di kawasan gurun menghadapi ancaman yang sama.
Dalam tiga tahun saja, ada lebih dari 30 negara yang pernah mendeklarasikan darurat kekeringan.
Sejumlah ahli menyerukan agar dunia melakukan berbagai tindakan terhadap kekeringan mulai dari antisipasi, mempersiapkan diri, hingga beradaptasi.
Baca juga: Kekeringan Global Ancam Pasokan Pangan dan Produksi Energi
Direktur United Nations University Institute for Water Environment Health (UNU INWEH) Kaveh Madani mengatakan, dunia terlalu sering menyebut kekeringan sebagai anomali, bencana, dan kondisi ekstrem.
Kenyataannya, selama beberapa waktu terakhir kekeringan menjadi lebih sering terjadi.
Dia menambahkan, banyak dari situasi kekeringan air kini bersifat permanen dan menjadi new normal alias hal yang biasa.
"Ini berarti sangat penting bagi kita untuk mengambil tindakan guna mempersiapkan diri dan beradaptasi dengan kekeringan yang lebih parah," kata Madani dikutip dari situs web Konvensi PBB untuk Melawan Penggurunan United Nations Convention to Combat Desertification (UNCCD), Rabu (23/10/2024).
Dia menambahkan, peristiwa kekeringan yang terjadi saat ini merupakan kejadian yang berkelanjutan, bukan sebuah peristiwa yang terbatas pada suatu tempat dan waktu tertentu.
Baca juga: Periode Kekeringan di Masa Depan Akan Lebih Lama dari yang Diperkirakan
Madani berujar, kekeringan memiliki dampak lanjutan serius yang bisa memicu efek domino.
"Memperparah gelombang panas dan banjir, melipatgandakan risiko terhadap kehidupan dan mata pencaharian. Jika tidak ada tindakan yang diambil dapat meningkatkan kerentanan masyarakat, ekonomi, dan ekosistem terhadap kekeringan berikutnya, yang memicu lingkaran setan," kata Madani.
Di satu sisi, air sangat dibutuhkan untuk pertanian. Tanpa ada air, tidak ada tanaman pertanian yang bisa dipanen.
Hal tersebut bisa memicu efek domino mulai dari hilangnya mata pencaharian, kelaparan, migrasi paksa, ketidakstabilan, bahkan konflik.
Direktur Pusat Mitigasi Kekeringan Nasional Mark Svoboda mengatakan, dunia memiliki berbagai peralatan dan teknologi untuk menghadapi kekeringan. Sehingga pola pikir negara-negara harus diubah.
"Berpikir bahwa karena ada hujan, tindakan dapat ditunda adalah sebuah kesalahan. Kita perlu mengatasi kekeringan sebelum terjadi, dan kita memasuki mode panik," tutur Svoboda.
Baca juga: Gelombang Panas dan Kekeringan Sebabkan Kerugian Miliaran Dollar AS dalam Setahun
Kekeringan disebabkan bukan sekadar minimnya curah hujan. Lebih jauh lagi, kekeringan merupakan hasil dari perlakuan terhadap tanah dan ekosistem.
Degradasi lahan memicu kekeringan hingga perubahan iklim. Sehingga diperlukan upaya perlindungan,pemulihan, dan pengelolaan lahan secara berkelanjutan.
Ilmuwan senior dari National Oceanic and Atmospheric Administration AS atau National Oceanic and Atmospheric Administration (NOOA) Roger Pulwarty mengatakan, perencanaan dan desain lahan berkelanjutan menawarkan manfaat ekonomi terbesar untuk pengurangan risiko bencana.
"Dibandingkan dengan langkah-langkah yang difokuskan pada relokasi, mitigasi, dan perbaikan, seperti penguatan struktur yang ada," kata Pulwarty.
Baca juga: Nyaris 3 Bulan Tak Hujan, 3 Provinsi Ini Mulai Kekeringan
Di samping itu, pemulihan lahan dan penerapan solusi berbasis alam juga menawarkan jalan keluar bagi kekeringa dan banjir menurut The Nature Conservancy, Global Water Partnership, dan Program Lingkungan PBB (UNEP).
Di sisi lain, investasi dalam solusi berbasis alam hanya berkontribusi 3 persen dari hampir 7 triliun dollar AS yang disuntikkan setiap tahun dalam berbagai kegiatan yang berdampak negatif terhadap alam secara langsung.
Sehingga, aliran keuangan dan insentif yang merusak perlu dialihkan ke penerapan solusi berbasis alam.
Baca juga: Danau Tertua di Eropa Terancam Kekeringan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya