Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Afif
Hakim PTUN Palembang

Lulusan Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Andalas.

Pentingnya Pengakuan Hak Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Hutan

Kompas.com - 26/11/2024, 15:53 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PENGELOLAAN sumber daya alam di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan besar. Salah satunya tumpang tindih antara wilayah hutan adat dan Kawasan Hutan Negara, yang mencakup juga Hak Guna Usaha (HGU) yang diberikan kepada perusahaan.

Tumpang tindih ini sering kali menciptakan ketegangan, terutama di wilayah yang dihuni oleh masyarakat adat.

Kasus-kasus di Kampung Yenggu Lama di Papua dan di Sumatera Barat, misalnya, menggambarkan bagaimana wilayah adat yang sudah dihuni turun-temurun oleh masyarakat adat tiba-tiba berada dalam pengelolaan yang diambil alih oleh pihak luar, seperti perusahaan perkebunan sawit atau taman nasional.

Hal ini sering kali menimbulkan rasa ketidakadilan bagi masyarakat adat yang merasa hak mereka atas tanah dan hutan yang telah mereka kelola diabaikan.

Di Kampung Yenggu Lama, Papua, misalnya, Hutan Adat Yano Akrua yang telah dihuni masyarakat adat Yano Akrua selama berabad-abad kini tumpang tindih dengan kawasan yang dikelola berdasarkan Hak Guna Usaha (HGU) untuk perkebunan sawit.

Meskipun pemerintah setempat, melalui Surat Keputusan Bupati Jayapura pada tahun 2022, mengakui wilayah adat tersebut, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga menetapkannya sebagai hutan adat pada tahun yang sama, masyarakat adat Yano Akrua tetap menghadapi tantangan besar.

Mereka berkomitmen untuk menjaga dan mengelola hutan adat mereka dengan konsep ekowisata berkelanjutan.

Komitmen ini patut didukung karena pengelolaan hutan oleh masyarakat adat terbukti lebih efektif dalam menjaga keberagaman hayati dan ekosistem secara stabil.

Penelitian dalam jurnal Current Biology menunjukkan bahwa tanah adat sering kali menjadi model konservasi yang lebih efektif dibandingkan kawasan lindung yang dikelola negara.

Pengetahuan dan praktik pengelolaan hutan yang diwariskan turun-temurun memungkinkan masyarakat adat menjaga alam dengan cara lebih ramah terhadap ekosistem dan keberagaman hayati.

Namun, kenyataan yang dihadapi oleh masyarakat adat sering kali tidak sesuai harapan. Di Sumatera Barat, misalnya, wilayah yang dihuni oleh masyarakat adat Nagari Lubuk Gadang tiba-tiba dimasukkan dalam Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat tanpa mempertimbangkan hak-hak mereka atas tanah adat yang telah dikelola selama berabad-abad.

Penetapan kawasan tersebut tanpa melalui proses konsultasi yang memadai menyebabkan kebingungan dan ketidakpuasan di kalangan masyarakat adat setempat.

Tanah adat bagi mereka bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga memiliki nilai magis dan religius yang sangat kuat dalam kehidupan sosial dan budaya mereka.

Ketika tanah adat digusur atau dimasukkan dalam kawasan yang dikelola oleh pihak luar tanpa dialog terbuka, hal ini memperburuk hubungan antara masyarakat adat dan pemerintah serta memperdalam ketegangan sosial yang ada.

Isu tumpang tindih kawasan ini menjadi lebih rumit ketika politisi dan oknum tertentu memanfaatkannya untuk meraih keuntungan politik.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau